Februari, Sebuah Permulaan – hari kesembilanbelas
Kisah ini bermula saat aku lulus sekolah menengah. Di ambang kebingungan memilih jurusan dan perguruan tinggi.
Hari itu terakhir pendaftaran masuk perguruan tinggi negeri jalur nilai dan aku masih lunglai di depan layar computer, belum memilih perguruan tinggi. Yang ada di pikiranku kala itu, aku tak tahu akan menjadi apa. Aku belum tahu bidang apa yang bisa kunikmati tanpa harus merasa bosan. Sekolah tak pernah memberi arahan apa pun tentang ke mana seharusnya kami, para murid, bisa menekuni bidang studi lanjutan. Bila pada akhirnya perguruan tinggi tak berbeda dengan sekolah, maka untuk apa pula aku meneruskan studi?
“Frisa, makan malam dulu, Nak.”
“Iya, Bun.”
Berada di meja makan bersama Bunda, Ayah, dan Kak Kinanti kala itu adalah momen yang tak akan pernah kulupakan. Makan bersama seperti itu memang sudah menjadi kebiasaan kami. Saling menceritakan keseharian masing-masing menjadi bumbu tersendiri yang menambah sedap lidah kami untuk menyantap makanan. Kami meriung di meja makan persegi yang hanya cukup diisi empat orang. Meja kayu sederhana, tanpa taplak atau ukiran apa pun. Hanya plitur coklat seadanya dan dihiasi hidangan Bunda yang selalu mencakup protein, serat, dan karbohidrat. Ia selalu memastikan kami tak kekurangan kalori.
Aku percaya, tak semua hal kami ceritakan di meja itu. Aku pun demikian. Bahkan kebimbanganku memilih jurusan ini belum kuceritakan di malam-malam sebelumnya. Tidak pula malam ini, dan malam-malam berikutnya, pikirku kala itu.
“Kamu belum menentukan mau lanjut studi apa, Za?” tanya Bunda.
“Bukannya Bunda membebaskan aku lanjut atau tidak?”
“Ya, tapi bukan berarti kamu harus memutuskan tidak tanpa pertimbangan yang jelas, Nak.”
“Hidup ini memang bukan tentang gelar. Tapi, dunia yang kamu hidup di dalamnya ini, masih memberi penghormatan pada sebuah gelar. Dan itu layak untuk kamu pertimbangkan,” timpal Ayah yang duduk di depanku.
“Tapi aku nggak tau mau pilih jurusan apa. Kalau pada akhirnya cuma disuruh menghapal, buat apa aku kuliah?” jawabku.
“Kamu yang membentuk dirimu, bukan orang lain atau lembaga pendidikan,” pungkas Ayah.
“Nggak tahu, tapi nggak mau nanya, sih,” sindir Kak Kinanthi di sebelah kiriku.
Aku pun ingat, dua tahun yang lalu, Kak Kinanthi kekeuh tidak mau lanjut studi. Tapi toh akhirnya dia sekarang sudah hampir semester lima, dengan nilai cumlaude. “Yaudah, dulu Kak Kinan kok bisa ambil studi Sosiologi? Alasannya apa?” tanyaku, menyanggupi sindirannya.
“Dulu Bunda pernah pesan ke aku. Nah, sekarang kayaknya Bunda juga udah mau berpetuah tuh ke kamu.” Jawaban itu memberiku sedikit harapan, dan sedikit skeptis. Apa iya, petuah Bunda bakal sengaruh itu, batinku.
“Terserah, studi apa yang kamu pilih, Nak. Bunda dan Ayah ngga pernah maksa. Yang penting, pastikan pilihanmu itu berguna bagi lingkungan sekitarmu. Kuliah bukan untuk menimbun dirimu sendiri, tapi juga mengaliri kekeringan di sekitarmu,” pesan Bunda.
“Ayah dan Bunda nggak mau capek-capek bayar kuliah kamu kalau cuma buat memperkaya dirimu sendiri.”
“Aku ingin mengubah paradigma menghapal menjadi berpikir. Kalau aku ambil keguruan, dan berakhir jadi guru honorer yang gajinya kecil, nggak papa?”
Ayah dan Bunda tak memberi jawaban hitam atau putih. Lagi-lagi, mereka membuatku berpikir dan memberiku pilihan-pilihan. Guru honorer atau bukan, gaji besar atau kecil, ia menanyakan kebermanfaatan apa yang bisa kuberikan selain tugas utama memenuhi kewajiban.
“Memperbaiki pendidikan tak harus berangkat dari studi keguruan. Kamu yang ciptakan formulanya, bukan studinya.” Itu adalah pesan penutup Ayah, yang selalu kuingat di mana pun berada. Aku adalah pembuat formula dalam apa pun yang kulakukan. Tidak ada studi yang membuat sebuah formula. Akulah aktornya.
Selesai dengan itu, aku memutuskan mengambil studi psikologi di sebuah perguruan tinggi di … Tidak ada alasan spesifik untuk menjadi ini dan itu. Aku hanya akan membuat formulaku sendiri. Aku tak berniat menjadi psikolog. Bila pun memang aku menjadi psikolog, itu karna aku yang menginginkan, bukan studiku.
Pada akhirnya, aku tidak menjadi psikolog. Aku meracik ilmu psikologi yang kupunya untuk membuka kelompok belajar di halaman depan. Di sana pula aku merangkap menjadi pendengar bagi keluh-kesah anak-anak yang mengalami kesulitan belajar. Aku membagikan ceritaku ini melalui surat pembaca di salah satu koran elektronik. Setelah itu, seseorang menghubungiku dan mengajakku membesarkan kelompok belajar ini melalui crowd funding. Sementara aku menyiapkan rencana strategis, ia bersedia mendanai hingga aku menemukan penyokong dana yang bebas dari kepentingan apa pun. Ia pula yang mendekatkan aku pada para calon pemberi dana, hingga aku bisa membuat rumah belajar yang menampung ratusan keluh-kesah dan kesedihan anak-anak.
==
Tulisan lainnya dalam kompilasi bertajuk “Februari, Sebuah Permulaan”
Latar belakang : Februari, Sebuah Permulaan
Hari pertama : Mendamba Motivasi
Hari kedua : Loncatan Spiritual Seekor Katak
Hari ketiga : Eksklusivisme Agama dan Pemikiran
Hari keempat : Meniadakan Kehilangan
Hari kelima : Sepragmatis Orang-orang Tua
Hari keenam : Keluarga yang Tak Sempurna
Hari ketujuh : Orang yang Berharga
Hari kedelapan : Berkontribusi
Hari kesembilan : Terdera Kebermanfaatan
Hari kesepuluh : Redup dan Padam
Hari kesebelas : Anggrek Terakhir Ayah
Hari keduabelas : Habiskan Makananmu, Nak!
Hari ketigabelas : Surat dari Kota Pelangi
Hari keempatbelas : Formasi Harapan Batu Sungai
Hari kelimabelas : Biru Mengudara di Langit Jakarta
Hari keenambelas : Kicau Semangat Burung Pipit
Hari ketujuhbelas : Air Laut, Menyurut, Memaksa Pasang
Hari kedelapanbelas : Bu, Aku Ingin Melaju di Lantai Basah