Photo by Harry Tang on Unsplash

 

Februari, Sebuah Permulaan  – hari keenam

Aku bermimpi tentang seorang wanita yang menemuiku sambil berteriak kencang, “Semuanya kacau.” Aku yang tak tahu siapa dia dan datang dari mana, masih diam dalam kebingungan. “Kenapa hidupku rasanya tak pernah dimudahkan? Segalanya tak berjalan sesuai rencana. Kacau!”

Dalam diamku, ia terus menceritakan kekesalannya. Ia memaki kehidupan yang seperti tak memandangnya sebagai sebuah entitas yang layak bahagia. Ia terasing di dunia yang semakin menepi. Karirnya hancur, asmaranya payah, kesehatannya rapuh.

Aku jadi ingat saat-saat dimana aku merasa terasing. Selalu ada rumah untukku pulang. Ayah menyambut segala keluh kesahku, memberi semangat dan mendekap kerisauanku. Mengembalikanku dari keterasingan.

“Coba kembali ke rumahmu. Kepada keluargamu,” ucapku, setelah lama sekali diam.

“Nampaknya kau berasal dari keluarga yang sempurna, dan aku datang pada orang yang salah,” jawabnya ketus.

“Keluarga sempurna?”

“Keluarga dengan ayah dan ibu lengkap, dipenuhi kebahagiaan, layaknya di negeri dongeng. Bullshit. Aku hidup dengan diriku sendiri.”

“Maaf, tapi jika keluarga sempurna yang kamu maksud seperti keluarga di negeri dongeng, aku pun tidak memilikinya. Aku hanya punya Ayah yang mengiringi setiap langkah hidupku.”

“Aku tinggal bersama Budhe sejak usiaku 7 tahun. Entah kemana Ayah dan Ibuku pergi, yang jelas mereka tak pernah kembali.”

“Kamu aman bersama Budhemu?”

“Lebih dari aman. Segala yang kuminta, dituruti.”

“Tidakkah itu sempurna?”

“Bukan itu permasalahannya. Setelah menelantarkanku selama dua puluh tahun, mereka kembali untuk meminta biaya tujuh tahun membesarkan aku. Keparat memang. Mereka yang membawaku ke dunia biadab ini. Bukan aku yang meminta dilahirkan dari benih manusia seperti mereka.”

 

==

Tulisan lainnya dalam kompilasi bertajuk “Februari, Sebuah Permulaan”
Latar belakang : Februari, Sebuah Permulaan
Hari pertama : Mendamba Motivasi
Hari kedua : Loncatan Spiritual Seekor Katak
Hari ketiga : Eksklusivisme Agama dan Pemikiran
Hari keempat : Meniadakan Kehilangan
Hari kelima : Sepragmatis Orang-orang Tua