Photo by Gleb Lucky on Unsplash

 

Februari, Sebuah Permulaan  – Hari Kedua

 

Jarum jam belum tuntas berjalan ke angka dua belas tapi ruangan ini sudah sangat riuh. Mereka bersiap dengan cerita yang harus dibubuhi di atas menu makan siang di akhir bulan. Nasi rames dan es teh manis. Sematan kata ‘manis’ bukan berarti rasanya memang demikian. Seringkali hambar, bahkan seperti meminum air bekas cucian kentang. Tapi mereka sudah biasa dengan itu. Setidaknya tak ada yang mengeluh karena hanya itu yang bisa dimakan di penghujung penantian bulan berikutnya. Di situlah fungsi cerita disiapkan. Membumbui es teh manis yang sama sekali tidak manis, dan menambah selera nasi rames yang sekadar lewat dan mengisi ruang di dalam perut.

Belum ada cerita yang keluar dari kedua pemuda di pojok kantin. Sementara yang satu sudah menghabisi makanan di hadapannya, wanita di sebelahnya hanya mengetuk-ngetuk gagang sendok dengan telunjuknya.

“Kamu kenapa, sih? Dari tadi bengong mulu. Besok juga gajian. Nggak usah risau kayak mikir utang negara, deh.”

“Katak, Ar.”

“Kok katak, sih?”

Diva memutar ulang ingatannya kemarin sore. Menceritakan kejadian Minggu sore di tepi danau buatan dekat rumah, tempat ia biasa menghabiskan waktu merenung dan sejenak memejamkan mata dan mendengar suara angin. Ia melihat seekor katak duduk di atas daun teratai. Ditatapnya mata si katak yang begitu menusuk dan mengunci pandangannya. Tanpa aba-aba, katak itu meloncat dan mendarat tepat di keningnya, nyaris mengenai matanya. Sedetik kemudian, ia telah berada di suatu ruang hampa. Tak ada siapa pun, kecuali ia bersama seorang gadis kecil dua belas tahun yang tengah berjalan dengan pandangan lurus ke depan. Ia pun mengikuti gadis itu. Semakin dekat, ia tercekat menyadari betapa miripnya gadis itu dengan dirinya di waktu kecil.

Ia mencoba menyapa dan tak ada tanda-tanda jawaban. Gadis kecil itu terus berjalan. Setiap langkah gadis kecil itu menunjukkan perubahan fisik yang tak disadari oleh Diva, karena ia terlalu fokus pada perubahan orang-orang di sekitarnya. Ia tak lagi berdua bersama gadis kecil itu. Satu per satu orang di kehidupannya hadir. Ayah dan Ibu yang asyik bercanda berdua sambil mencicipi kue yang baru saja keluar dari oven. Adiknya, Rey, yang sedang bermain air selang di halaman rumah. Sahabat kecilnya, Lola, yang sedang bermain barbie kertas. Cinta pertamanya, Kris, yang menunggu di gerbang depan rumah. Guru SMAnya, yang pernah memuji eksperimen gilanya, dan masih banyak lagi. Nampaknya semua orang penting di hidupnya ada di sini. Mereka semua saling mengenal satu sama lain, tanpa kecuali. Bahkan anjingnya, Bobi, bermain bersama Patricia, sahabat pena yang ia sendiri tak pernah bertemu secara langsung.

Ketika pandangannya kembali pada gadis kecil itu, gadis itu sudah berubah menjadi persis seperti dirinya. Ada dua sosok yang sama di dalam ruang hampa dengan dikelilingi manusia yang saling menyapa kecuali padanya.

“Aku berkeliling, menyapa satu per satu dari mereka, tapi nggak ada yang menyahut. Aneh nggak, sih? Bahkan Ayah dan Ibuku sekali pun,” ungkap Diva pada Ardi, berhenti sejenak dan melanjutkan, “Mereka kayak nggak kenal aku. Kembaranku itu juga kayak nggak tahu siapa aku.”

Tak ada tanggapan. Ardi hanya menghela napas dan semakin merilekskan badannya. Ia hampir saja memejamkan mata.

“Kamu dengar ceritaku nggak, sih?”

Yang ditanya hanya mengangguk.

“Kok diam, nggak ada tanggapan?”

“Kamu serius nanya tanggapanku?”

Diva mengangguk.

“Kamu itu mengalami loncatan spiritual seekor katak.”

“Apa sih, Ar? Nggak jelas, deh.”

“Coba kamu ingat-ingat lagi. Kapan kamu pernah minta pendapat orang lain?” Tak mendapat jawaban, Ardi terus melanjutkan, “Yang kamu ceritakan barusan itu persis kamu banget. Sadar nggak, sih? Kamu itu seringkali mengacuhkan orang-orang di sekitarmu, tapi berlagak menjadi korban saat kamu tak digubris. Kamu selalu merasa setiap langkah hidupmu harus diputuskan olehmu sendiri tapi nggak pernah mikirin konsekuensinya dan akhirnya nyusahin orang-orang di sekeliling kamu.”

“Aku pernah nyusahin kamu?”

Yang ditanya melengos pergi, membayar makan untuk dua porsi makan siang mereka berdua. Setelah itu, Ardi berbalik, berdiri di belakang Diva.

“Aku nggak tahu beban masa lalu seperti apa yang kamu tanggung, tapi diam justru membuatmu semakin tertimbun dan mengajak orang lain mati di dalamnya.”