Photo by Katrina Wright on Unsplash
Februari, sebuah permulaan – hari pertama
Kita hidup di dunia yang serba tak menenangkan
Hal-hal yang semestinya terencana, seketika dibuyarkan kenyataan
Maju selangkah, berhenti, dan terpuruk mundur
Berujung pada lelah, merancang ulang semua rencana
Saat seperti inilah aku butuh apa yang dinamakan motivasi
Yang entah sampai kapan harus terus dikunyah
Hingga akhirnya benar-benar berharga
Rasanya tak ada motivasi yang benar-benar membuatku berlari
Ia hanya melecut angan-angan yang terlalu ringan diterbangkan angin
Ia butuh aku, si pemilik tubuh yang hidup, mengisinya dengan kemungkinan terbaik dan terburuk
Menimbang-nimbang, bagaimana semestinya menghadapi keduanya
Sudah layakkah keduanya dihadapkan pada angin?
Sudah relakah diriku melihat kemungkinan terbaik terbang berguguran?
Sudah teguhkan pijakanku menyaksikan kemungkinan terburuk bertahan hingga akhir?
Seberapa jauh aku mampu merelakan sekaligus meneguhkan diri sendiri?
Mungkinkah aku yang akhirnya jatuh, kalah dihantam dunia
Yang semakin tak memandang manusia sebagai manusia
Karena manusia semakin sibuk memikirkan dirinya sendiri
Memenuhi kebutuhan dari sebuah pengakuan keberadaan
Ia tlah lupa pada dasar-dasar kebutuhan yang harusnya dipenuhi
Meloncat jauh pada angka tiga dan empat, meski satu dan dua bahkan belum terjamah
Berharap melaju ke angka lima dengan membawa tubuh yang masih kosong
Lalu berakhir seperti diriku, mendamba motivasi yang tak pernah berujung