Photo by Medena Rosa on Unsplash

 

Februari, Sebuah Permulaan – Hari Ketiga

Seorang gadis termenung di depan layar laptop yang masih belum dinyalakan. Ia sedang mengikuti kelas singkat penulisan esai selama satu minggu. Kelas hari pertamanya telah usai dan ia mendapat tugas menulis pertamanya. Sebuah tugas menulis esai dengan topik yang membuatnya berpikir tanpa ujung. Ia diminta menulis esai dengan topik ‘agama’.

Ia tak habis pikir dengan jalan pikiran sang pelatih. Mereka, peserta, yang notabene adalah para pemula dalam dunia kepenulisan esai, diminta menulis suatu topik yang begitu sensitif, di hari pertama. Pelatih gila, batinnya.

**

Kelas hari kedua dimulai dengan kalimat pembuka yang singkat oleh seorang pelatih yang merupakan redaktur majalah elektronik ternama. Kalimat pembuka yang hanya bermuatan sapaan dan ulasan materi singkat di hari pertama. Tanpa banyak pembukaan, sang pelatih yang diketahui bernama Rosi membahas tugas di hari pertama dan meminta salah satu di antara peserta kelas untuk membacakan hasil tulisan yang sudah dibuat.

Tak ada yang mengacungkan tangan. Semua diam, menunggu Rosi menunjuk salah satu di antara mereka. Benar saja. Dua menit ia menunggu, tak ada tangan yang mengulur ke udara. Rosi memandangi satu per satu papan nama di meja para peserta. Pandangannya berhenti pada meja Sitha, gadis yang semalaman termenung dan mengatakan pelatihnya gila.

“Saya tidak membuat tulisan apa pun, mbak,” ucap Sitha, menyadari pelatihnya menaruh perhatian lebih pada namanya.

“Kenapa?”

“Saya rasa, topik yang mbak Rosi beri ke kami terlalu sensitif.”

“Kenapa kamu bisa berpikir begitu?”

“Saya berpikir semalaman sampai tidak bisa tidur. Yang terlintas di kepala saya selalu berkutat pada eksklusivisme akan agama yang saya anut. Rasanya tidak etis bila saya sampaikan hal-hal tersebut dalam bentuk tulisan.”

“Bukankah esai adalah bentuk penyampaian pandangan, gagasan, dan pikiran yang salah satu cirinya adalah bersifat pribadi?”

Melihat Sitha diam dan terlihat masih coba mencari jawaban yang tepat, Rosi melanjutkan “Dengan tidak menyampaikan gagasanmu itu, kamu semakin melanggengkan eksklusivisme agamamu. Kamu terus meyakini bahwa apa pun yang kamu percayai itu adalah milikmu dan menjadi hakmu untuk tidak membaginya, karena kamu beranggapan keyakinan itulah yang paling benar dan tidak ada seorang pun yang berhak untuk mengusiknya.”

Rosi melihat peserta lain, berusaha memancing peserta lain untuk bisa menyampaikan pendapatnya tentang hal yang baru saja disampaikannya. “Ada yang ingin berpendapat mengenai eksklusivisme ini?”

“Kita jadi terkungkung dalam keyakinan sendiri, tanpa mau menyelaraskannya dengan elemen keyakinan lain yang, bisa jadi, saling berhubungan dan butuh semacam titik temu untuk menjembatani perbedaannya,” sahut gadis lain di ujung depan sebelah kanan.

“Mungkin, salah satu cara menghancurkan kungkungan eksklusivisme itu adalah dengan menuliskannya, sehingga orang lain juga dapat menikmati dan meresapinya. Selanjutnya, muncullah gagasan baru yang menggabungkan keduanya,” imbuh pria berkaos merah di sebelah gadis itu.

“Atau justru bisa mengukuhkan keyakinan yang ada. Melalui proses berpikir yang terbuka terhadap segala kemungkinan dan proses membaca yang terbuka terhadap segala macam perspektif, kita menemukan fakta dan bukti bahwa keyakinan kita layak dipertahankan,” imbuh seorang lagi, gadis gempal dengan poni keriting yang mengakhiri pendapatnya dengan senyum yang manis.

“Tepat. Dan perlu diketahui pula bahwa menuangkan gagasan kita dalam esai bukan berarti mendebat setiap pendapat yang berseberangan.”

Sitha masih terdiam, masih merekam kata demi kata dan memprosesnya. Pendapat mereka ada benarnya, batinnya.

“Sitha, terima kasih atas gagasanmu yang memancing diskusi kelas pagi hari ini,” ucap Rosi sembari menepuk bahu Sitha yang tersenyum malu.

Rosi kembali ke depan kelas dan menyampaikan, “Saya beri waktu 10 menit untuk menuliskan pandangan kalian mengenai diskusi kita barusan dalam beberapa paragraf.”

==

Tulisan lainnya dalam kompilasi tulisan bertajuk “Februari, Sebuah Permulaan”
Latar belakang : Februari, Sebuah Permulaan
Hari pertama : Mendamba Motivasi
Hari kedua : Loncatan Spiritual Seekor Katak