Photo by Mateusz D on Unsplash

 

Aku membuka pintu rumah dan menyadari Awan sudah pulang. Tas dan jaketnya sudah bertengger di tiang gantungan, dan sepatunya sudah berjajar rapi di rak. Ia memang selalu rapi, lebih rapi daripada aku sendiri. Katanya, pertengkaran seringkali muncul dari hal-hal seperti ketidakrapian suami. Di rumah ini, akulah yang seringkali diomeli Awan. Kupikir, lambat laun aku akan mengikuti pola hidupnya yang rapi dan teratur. Rupanya sulit. Awan sering geleng-geleng melihat kebiasaanku menaruh barang seenaknya.

Terdengar bunyi air mengalir dari kamar mandi. Sekilas, aku melihat layar laptop Awan yang masih menyala di ruang tengah.

Biaya Pendidikan di Sekolah Pelita

Sedetik kemudian, Awan muncul. Aku bertanya apakah Rena sudah tidur dan ia mengangguk. Tanpa banyak bicara, ia menuju laptop dan membawanya ke kamar.

“Kamu marah aku daftarin Rena di Sekolah Pelita?”

“Kenapa marah? Toh, kamu yang punya uang!” jawabnya ketus, tanpa menoleh sedikit pun dan menutup pintu kamar.

Aku mendengus dan mengikutinya ke kamar. Selalu saja begini.

“Aku cuma mau mastiin Rena sekolah di tempat yang tepat,” kataku, menyandar pada pintu.

“Harus di sekolah yang semahal itu? Kenapa? Kamu mau nunjukin ke Rena kalau mamanya punya banyak uang?”

“Nggak gitu…” jawabku mengambang.

“Aku juga mau kasih yang terbaik buat Rena. Dia anak aku juga, Le! Seenggaknya kamu obrolin dulu sama aku. Jangan mentang-mentang kamu yang bayar, kamu putusin sendiri!”

Aku diam, memutar dadu jawaban di otakku, memastikan jawabanku berikutnya bisa menyudahi perdebatan ini. Dadu itu terus berputar. Tidak ada jawaban yang kamu inginkan, ujar si dadu.

“Kalau aku nanya kamu, jawaban kamu pasti sekolah yang di dekat kantor kamu kan? Kamu sering ngebanggain sekolah itu, karena itu sekolah kamu dulu,” jawabku. “Mungkin itu sekolah terbaik, di jaman kamu. Sekarang kan beda. Ada banyak sekolah yang lebih bagus.”

“Definisi sekolah bagus menurut kamu itu apa sih?”

“Gurunya, lingkungannya, cara belajarnya, jangkauan pengembangan dirinya. Itu semua harus bagus. Sekolah Pelita punya sistem penilaian minat bakat sebagai landasan proses pembelajaran dan itu penting buat Rena.”

“Kita ini orang tuanya Rena. Melihat minat dan bakat Rena adalah tugas kita, bukan tugas sekolah,” jawabnya ketus.

“Tapi Rena akan menghabiskan banyak waktu di sekolah dan nggak semua sekolah mau repot-repot memperhatikan minat bakat masing-masing murid.”

“Le, Sekolah Harapan itu tepat di sebelah kantorku. Aku bisa memantau perkembangan Rena dari kantor. Aku bisa ajak dia makan siang bareng, antar jemput dia, dan bisa jadi tempat dia ngadu kalau ada yang nggak menyenangkan di sekolah. Kita jadi punya peran yang lebih besar bagi perkembangan Rena.”

“Tapi,”

Belum selesai aku menjawab, ia kembali berbicara.

“Terserah kamu aja,” potong Awan menyudahi perdebatan malam ini.

Ia menarik selimut dan memejamkan mata. Meski tahu ia tidak benar-benar tidur, aku tak menyanggah. Mungkin memang lebih baik perdebatan ini tidak dilanjutkan.

 

== Lainnya dari Agustus, Memaknai Merdeka

Merdeka Mendekam
Rapuh
Jika Aku Seorang Bayi
4 Tawa Lantai Basah