Photo by Lindsay Henwood on Unsplash
Seingatku, kau pernah bertanya, bagaimana kamu dari sudut pandang aku. Entah, apa ingatanku akan hal itu bisa diandalkan. Katakanlah, begitu. Maka, sekarang aku sudah punya jawabannya. Di mataku, kamu terlalu pragmatis. Tanpa bermaksud mengkotak-kotakkan, tapi begitulah yang kulihat. Aku mengamati setiap gerak, menelaah setiap kata, dan mencoba menjelajahi setiap pemikiranmu. Dan aku kalah.
Entah apa yang kau lalui sebelum sampai pada titik ini. Yang kau harus tahu, aku sedang tidak berada pada tingkat di mana kau saat ini. Dengan kepraktisan yang kau gunakan sebagai alat menaiki tangga dari tempatmu berada, aku masih mengawang dan tak menemukan dasar. Rasanya sulit mencapai urutan kelima saat aku bahkan tak bisa menginjak tangga pertama.
You told me not to worry. Just step on where you are right now, and we’ll go together to the next step.
Aku menurut. Atas segala keputusan yang kupilih, ada dua hal kontradiktif yang tertanam di benakku: I fake it til I make or I don’t even know what I am doing. Aku memilih meyakini yang pertama dan mengesampingkan yang kedua.
Sekarang, aku mencoba kembali ke posisi awal. Bukan untuk mengawang apa-apa yang kau imajinasikan. Aku kembali untuk menatap lurus ke bawah, ke tangga yang pertama. Menapaki dasarnya dan mencoba memahami. Mencongkel sebagian untuk kemudian sedikit mendalami. Kutinggalkan jejak di sana, untuk selanjutnya melangkah ke tangga kedua. Merasakan nuansa dinginnya, menelan kepahitannya, hingga mendekap kebengisannya. Nanti, pada jejak yang ketiga, mungkin aku akan mencoba melepas satu per satu dan kembali menemukan hampa yang lebih bermakna. Lalu menapaki yang keempat dengan mata berbinar dan senyum yang merekah. Entah kau sudah akan pada tangga ke berapa, saat aku kemudian berada di tangga itu, aku akan menentukan akan menjadi apa.
Bisa jadi, aku juga akan sepragmatis kamu. Bisa jadi, aku teguh pada idealismeku. Bisa jadi, aku lebih realitis dan melihat kenyataan sebagai apa adanya. Apa pun itu, kupastikan diriku tak terjebak di dalamnya, dan tetap menjelajah. Celakalah aku bila akhirnya terjebak dalam sebuah keyakinan bahwa hanya ada satu variabel penyusun kehidupan sedang variabel lain perlu untuk dikecilkan hingga benar-benar musnah.
Yang jelas, aku ingin menikmati setiap langkahnya tanpa berpikir apa yang sedang menunggu di atas sana. Rengekan payah juga agaknya tak diperlukan, karena yang kulakukan hanya akan menyusuri kulitnya, melahap isinya, dan memuntahkan busuknya.