Photo by Toa Heftiba on Unsplash
Februari, Sebuah Permulaan – hari kelima
Kedai kopi bernuansa monokrom ini sekarang sudah semakin ramai. Anak-anak muda berhamburan mengisi bangku yang masih kosong. Ada yang sendiri, ada pula yang bergerombol. Nongkrong untuk menghambur-hamburkan uang demi mendapat apa yang saat ini mereka sebut ‘healing’ atau ‘quality time’. Obrolan mereka biasanya tak jauh dari kisah romantis dan drama asmara.
Beberapa menit lalu, aku bersama dua orang klien yang memintaku ‘menangani’ semua pemberitaan buruk yang menyinggung perusahaan mereka. Salah satu perusahaan kosmetik yang menolak dikatakan sebagai oportunis di tengah giringan opini mengenai standar kecantikan: kulit putih, pipi tirus, alis tebal simetris, dan masih banyak lagi.
Aku sudah hampir pulang saat kopi di hadapanku tlah ludes habis dan rokokku tinggal sebatang. Namun, obrolan para pemuda di sudut dua puluh lima derajat dari tempatku duduk membuatku bertahan. Mereka berlima, hanya berjarak dua meter denganku sehingga aku bisa mendengar setiap kalimat yang mereka lontarkan.
Aku memesan secangkir kopi lagi.
“Liat nih bos baru kita. Hp canggih. Mobil keren. Laptopnya, beuh, pengen gue maling buat bayar kosan tiga tahun,” kata seorang pemuda berkaos abu-abu di antara mereka.
“Udah jadi kaum borjuis, bro,” sahut pemuda di sebelahnya.
“Lo nggak korup kan, Do?”
“Ngaco lo. Enggaklah. Mobil sama laptop kan fasilitas kantor.”
“Fasilitas kantor kok dibawa kemana-mana.”
“Kalian gue undang ke sini emang buat bahas kerjaan, oncom,” sahutnya, diiringi cekikikan teman-temannya. “Jadi gimana perkembangan kampung mandiri yang mau coba bina kemarin? Udah sepakat mau jalan dari mana?”
“Rencana pertama mau bikin koperasi. Beberapa anak mudanya udah mulai kegaet nih, tinggal ngeyakinin yang lain aja supaya pada mau ikutan. Sementara mereka ngajakin teman yang lain buat gabung, kita-kita masih pada nunggu instrumen dari lo.”
“Instrumennya udah jadi. Gue kirim ke email ya, ntar kalian cek deh,” balasnya, sambil berkutat pada laptopnya, mungkin mengirim surel seperti yang ia ucapkan. “Anak-anak yang pada ngelem kemarin gimana? Aman?”
“Ngefly aja sih mereka, tapi ketinggian. Oleng dah tuh. Kemarin udah diedukasi Bobby dan Dewi. Sekarang masih dalam pantauan mereka.”
“Yang parah lagi tuh kemarin ada bocah yang mati abis ngoplos.”
“Bukannya beberapa bulan lalu udah ada yang mati?”
“Iya, ini ada lagi.”
“Kocak. Mati kok jadi tren.”
“Mereka nggak kayak kalian. Kalo stres dikit bisa ke menepi ke bar.”
“Lo aja kali, Do.”
Pemuda dengan setelan kemeja kasual warna marun, setelah beberapa kalimat, kuyakini bernama Aldo, meringis menanggapi jawaban itu.
“Tahun depan gue undur diri ya. Gue dapat tawaran kerjaan yang cuannya lebih gede,” ucap seorang berambut ikal di sebelah Aldo. “Udah saatnya mikirin masa depan, nggak ngurusin hidup orang lain mulu. Nikah nggak gratis ternyata.”
“Gue ajak bisnis nggak mau, sekarang malah mau jadi budak korporat.”
“Maksud lo, bisnis jurnal? Komersialisasi ilmu pengetahuan? Ogah.”
“Si Anto pengen nyusul lo jadi bos, Do. Biar bisa gabung komunitas borjuis. Tinggal nunggu info korupnya aja tuh.”
“Emang mulut lo minta dikuncir.”
“Lo belum kepikiran aja. Coba liat sepuluh tahun lagi. Lo tanya tuh si Aldo, otaknya udah geser belum. Dulu kan dia yang paling idealis di antara kita, sekarang udah mulai pragmatis. Nggak sengotot dulu kalo di kantor. Udah mulai ngikutin arus orang lama, biar posisi aman.”
“Gue amanin jabatan gue supaya kantor nggak oleng. Seenggaknya, masih ada yang mau mikir, idealnya gimana. Idealisme kalo asalnya nggak dari jabatan strategis, ya bakal mental. Lo kira siapa yang ngebelain ide gila kalian kalau bukan gue?” Aldo menyesap kopi di hadapannya. Dari sajiannya, kutebak berisi Syphon Brew Luwak Coffee. “Lo doain aja, iman gue kuat. Kalo goyah ya seenggaknya ntar gue bagi ke kalian deh.”
“Aldo kok ngomongin iman. Tai kucing. Lo mah liberal.”
“Ngaco. Kayak tahu arti liberal aja lo. Emang kalo liberal nggak beriman?”
Perdebatan dan obrolan mereka terus bergulir. Gagasan yang mereka lontarkan pun bervariasi dan tidak ada yang merasa paling benar. Aku masih asyik menyimak saat pramusaji meletakkan kopi pesananku dan mengambil cangkir kopi pertama yang sudah tandas. Sekonyong-konyong, mereka sudah mulai membahas isu lingkungan. Tentang kopi dan cemilan di hadapan mereka yang sudah menghasilkan sampah bahkan sebelum mereka nikmati. Kemudian, Bobby, pemuda berambut cepak dengan jaket hoodie biru dongker, menjadi bulan-bulanan karena selalu menyisakan makanan di piring dan menghasilkan sampah tambahan. Kemudian beralih pada gaya hidup thrifting yang saat ini sedang jadi tren di kalangan anak muda.
“Bagus sih, belinya baju bekas, tapi trus baju yang ada di lemari malah dibuang. Ujung-ujungnya nyampah juga. Mending nggak usah beli baju, pakai baju yang ada. Kayak gue nih, baju dari jaman SMA masih dipakai terus,” komentar Anto.
“Kalau semua orang kayak Anto, ekonomi di negara ini nggak jalan.”
Mereka adalah aku di usia dua puluhan. Mengomentari segala hal karena dirasa tidak sempurna. Melucuti irasionalitas dan berharap semua orang berjalan bersama gagasan yang dirasa lebih ideal.
Kini aku sudah di ujung empat puluhan dan telah lama meninggalkan identitas itu. Menggantinya dengan identitas baru yang diamini semua orang. Merekam segala hal yang sudah ada dan mengaplikasikannya demi mendapat pengakuan sebagai pembelajar yang cepat mengerti. Membaur bersama kebiasaan agar tak diasingkan. Menolak perubahan demi mempertahankan kenyamanan, bersama orang-orang tua lainnya, menghidupi apa-apa yang bisa dihidupi. Meski tak jarang membuat segalanya mati suri.
==
Tulisan lainnya dalam kompilasi bertajuk “Februari, Sebuah Permulaan”
Latar belakang : Februari, Sebuah Permulaan
Hari pertama : Mendamba Motivasi
Hari kedua : Loncatan Spiritual Seekor Katak
Hari ketiga : Eksklusivisme Agama dan Pemikiran
Hari keempat : Meniadakan Kehilangan