Photo by davide ragusa on Unsplash
Agustus, Memaknai Merdeka (27)
Di tengah ruangan, berdiri Si Goblok dengan golok di tangan kirinya. Berdasarkan berita yang beredar, ia mendapatkan golok itu dari seorang Lurah. Tak tahu pasti alasan Lurah memberinya sebuah golok. Yang pasti semua orang di desa ini tahu adalah Si Goblok tak pernah sekali pun menyentuh golok. Bahkan Pisau pun ia tak pernah tahu.
Menurut cerita para warga, sejak menerima golok dari Lurah, Si Goblok petentang-petenteng keliling desa. Ia tak segan memasuki setiap rumah untuk sekadar meminta makan. Tak ada yang berani menolaknya bertamu. Kilatan golok yang digenggam erat di tangan kiri Si Goblok terlalu seram untuk sekadar bergoyang sedikit saja.
Malam itu, sedang berlangsung sebuah pertemuan besar yang sedang dipimpin oleh para ketua gang. Mereka resah dengan perangai Si Goblok yang semakin keterlaluan. Beberapa warga sudah mengeluhkan kelancangan Si Goblok merangsek masuk dan merampas persediaan makanan di dalam rumah mereka. Jika terus dibiarkan, mereka akan mengalami krisis pangan dan anak-anak menderita kelaparan.
“Saya sudah tidak peduli dengan golok yang ia tenteng kemana-mana itu. Si Goblok harus dihentikan!” protes Ujang.
Di antara puluhan orang yang berdesakan dalam ruangan itu, Si Goblok membelah kerumunan dan berhenti tepat di tengah.
“Siapa yang berbicara tadi?” tanya Si Goblok.
Hening. Tak ada satu pun yang berani menjawab pertanyaan Si Goblok. Para ketua gang juga tak bersuara. Mereka sibuk mencoret-coret kertas di meja. Ada yang membuat tanda tangan, matahari, atau bahkan coretan abstrak tanpa makna. Ujang menggulung sarungnya yang entah sudah berapa minggu lalu belum dicuci, disampirkannya di kepala.
“Saya!”, jawab Ujang kemudian. Suaranya lantang mengisi ruang yang tak lebih dari 36 meter persegi. Ruangan tetap hening. Hampir seluruh kepala mengutuk Ujang yang menantang mautnya sendiri.
“Anda ada masalah apa dengan saya?” tanya Si Goblok dengan congkaknya, seperti biasa, tentu saja sejak ia menerima hadiah golok dari Lurah.
“Anda bertanya?” jawab Ujang kesal. Lengan kanannya mengacak pinggang dan lengan kirinya membenarkan sarung di kepala yang mulai melorot, seperti nyalinya yang sebenarnya sudah mulai merosot takut. Diawali dengan berdeham, mengumpulkan segala nyali mulai ubun-ubun hingga telapak kakinya yang mulai kedinginan, ia lanjut berkata, “Anda dan golok Anda adalah sebuah masalah. Anda memasuki rumah kami tanpa izin, mengambil semua persediaan makanan kami tanpa sisa, menyisir setiap sudut rumah kami dengan seenak jidat. Anda kira itu bukan masalah?”
“Apa masalahnya?”
“Anda masih bertanya apa masalahnya? Anda ini benar-benar tidak tahu diri ya.”
Ruangan tetap hening. Kutukan kepada Ujang semakin kencang di setiap kepala mereka yang masih bertahan di sana. Beberapa di barisan belakang sudah melipir pulang dan menghapus jejak keberadaannya di tempat itu. Beberapa menunggu waktu yang tepat untuk ikut menghindar. Sisanya tak berani bergerak sedikit pun.
Si Goblok mulai memandangi para ketua gang yang masih berpura-pura sibuk dengan kertas dan alat tulis mereka. Si Goblok mengangkat goloknya dan membuat kerumunan merinding. Mereka melantunkan doa dan pujian kepada Tuhan masing-masing, di dalam hati. Si Goblok mendekati para ketua gang. Gerakan itu membuat beberapa kerumunan di barisan belakang berhasil lari tunggang langgang ke rumah masing-masing, mengunci pintu dan mematikan lampu.
“Siapa yang harus menjelaskan ini semua?” tanya Si Goblok di hadapan para ketua. “Anda, Anda, Anda, Anda, atau Anda?”, tanyanya mengacungkan golok ke masing-masing dari mereka.
Para ketua berhenti pura-pura sibuk, namun tetap dengan kesunyian yang sama.
“Saya tahu! Anda semua tidak akan berani menjawabnya, maka saya akan menjadi wakil Anda semua.”
Si Goblok kembali menghadap kerumunan. Hanya tersisa setengah kerumunan yang masih bertahan, atau lebih tepatnya ‘terpaksa’ bertahan karena tak punya kesempatan kabur.
“Saudara-saudara semua, sayur-mayur, ikan, susu, dan semua yang kalian makan, itu semua palsu. Tokoh masyarakat yang duduk di barisan paling depan ini,” ia menunjuk kembali para ketua di barisan depan. “Mereka menyimpan semua yang asli untuk diri mereka sendiri dan memproduksi tiruannya untuk mengelabuhi kalian semua.”
Kerumunan tak lagi senyap. Suara-suara saling bertabrakan. Beberapa tak percaya dan yang lainnya mempertanyakan. Mereka yang berhasil kabur namun belum jauh dari lokasi dan masih menangkap lontaran kalimat Si Goblok, kembali memasuki ruang pertemuan. Apa ini?, pikir mereka.
“Para ketua yang sangat kalian percayai ini dengan sengaja membuat kalian berpangku tangan menerima hadiah. Kalian tak perlu berusaha keras untuk dapat makan. Mereka akan memberi kebutuhan pokok kalian. Dengan begitu, kalian merasa nyaman di satu titik dan sudi membantu para cecunguk ini untuk meraup untung lebih besar dari kebodohan kalian mengikuti arus peradaban. Sedang kalian tak pernah tahu: peradaban kalian kecil dan palsu.”
Ruangan itu semakin riuh. Masih banyak yang tidak mempercayai Si Goblok. Si goblok mana yang akan mempercayai Si Goblok?
“Saya ingin membuat Anda semua sadar. Jika kalian tidak sudi diberi kesadaran, teruskanlah utopia yang telah diproduksi para ketua berandal ini,” tukasnya mengakhiri pertemuan.
Si Goblok mengangkat goloknya dan kembali membelah kerumunan. Sepeninggal Si Goblok, ruangan masih riuh. Dengan dipimpin para ketua di barisan depan, mereka sepakat untuk menggoblok-goblokkan Si Goblok.