Photo by Carley Friesen on Unsplash

Agustus, Memaknai Merdeka (4)

Tertawa menjadi sebuah kebiasaan yang menyenangkan dan memuaskan sejak sosok itu hadir. Gelagatnya, teorinya, langkahnya, dan apa-apa yang bersumber darinya menjadi sebuah lelucon yang sangat pantas untuk ditertawakan. Di saat kaki kami sudah tak merasa licinnya lantai yang basah, masih ada saja orang seperti Dia yang berpikir seribu kali untuk melintasi lantai basah. Sepatunya terbuat dari kaca yang akan dengan mudah membuatnya jatuh, dan lantai di sini cukup keras untuk mematahkan tulang ekornya. Dia pun jadi lebih suka melintasi lantai yang sudah benar-benar kering agar tidak terjerembab.

Melihatnya menatapi lantai yang basah menjadi sebuah pemandangan yang sangat lucu. Kami akan dengan sengaja melintas di sampingnya, melambaikan tangga. Ayolah, jangan hanya menunggu di situ, begitulah kurang lebih yang ingin kami sampaikan. Tetap saja, ia akan menunggu berjam-jam agar dapat melintas. Meskipun kemudian, ia jadi seringkali terlambat.

Setelah dihitung-hitung, keterlambatannya sudah melewati batas wajar. Manajer menegurnya dan memberikan SP 1. Dia pun protes.

“Tolong ubah SOP perusahaan! Sebaiknya lantai tidak dipel di pagi hari saat semua orang bergegas masuk,” katanya.

“Perusahaan telah menjalankan SOP ini selama bertahun-tahun dan tidak pernah ada masalah dengan hal itu. Lalu, apa yang menjadi masalahmu?”

“Lantainya basah setiap pagi dan membuat saya tidak bisa melintasinya,” jawabnya pasti.

“Kenapa begitu?”

Dia mendengus kesal. Bagaimana bisa dia bertanya hal yang sudah sedemikian jelasnya?, batinnya.

“Karena saya akan terjatuh bila melewatinya,” jawabnya dengan masih menampilkan senyum yang sama sekali tidak manis.

Manajer tertawa dan itu membuat Dia semakin kesal. Senyumannya yang sama sekali tidak manis telah benar-benar hilang dan menyisakan wajah yang sama sekali tidak manis.

“Hei, kau pikir, kau satu-satunya yang datang pagi di saat lantainya basah? Tidak! Semua orang datang pagi di saat lantainya basah, dan tidak pernah ada yang melapor jatuh,” jawab Manajer ketus.

“Belum ada!” pungkasnya. “Kemungkinan jatuh akan selalu ada dan saya tidak ingin mengambil resiko itu.”

Manajer kembali tertawa. Melihat tawa yang memuakkan itu, Dia menghentak meja dan pergi dengan amarah.

Brakkk!!

Tawa lenyap dan ruangan Manajer kembali normal.

 

== Lainnya dari Agustus, Memaknai Merdeka

Merdeka Mendekam
2 Rapuh
3 Jika Aku Seorang Bayi