Photo by Petr Ovralov on Unsplash

AKU belum cukup tua untuk merisaukan soal pernikahan. Ku jalani hidupku sebagaimana perempuan berusia dua puluhan awal. Bekerja dan bermain-main dengan uang yang tak seberapa. Lalu kadang mengeluh bosan tak bisa kemana-mana. Ku nikmati segala kesendirian yang membuatku merasa semakin utuh. Hingga perempuan itu masuk ke dalam kepalaku. Mencekokiku dengan berbagai perasaan yang ia miliki. Dan ia membuatku menjadi bimbang. Aku sungguh tak kenal siapa perempuan ini. Ia secara tiba-tiba masuk ke dalam kepalaku dan memberitahu kisah cinta yang sebenarnya tak begitu menarik tapi membuatku tertarik.

Satu jam lagi sudah waktunya pulang. Tumpukan kertas di hadapanku menuntut diselesaikan sesegera mungkin. Tapi tuntutan itu tak mampu menghilangkan perempuan itu dalam kepalaku. Dia terus berlari ke arahku. Tidak, dia menuju sebuah pintu dan mengetuknya. Betapa terkejutnya aku melihat diriku sendiri membukakan pintu itu. Bodoh. Kau tak seharusnya membiarkannya masuk. Kau harus menyelesaikan pekerjaanmu dan segera pulang.

Ku lihat diriku mempersilakannya duduk dan memberinya teh hangat dan beberapa kudapan. Ku perhatikan perempuan itu masih mengatur napasnya. Mungkin perempuan ini sedang dalam perjalanan menuju suatu tempat yang jauh dan ia mampir untuk sekadar melepas lelah. Dia cantik. Hidung dan bibirnya tampak sesuai diletakkan pada wajahnya yang mungil. Kulitnya tidak putih tapi nampak bersih dan sehat. Sorot matanya tajam dengan bola mata yang tak hitam juga tak coklat. Alisnya tak begitu rapi tapi cukup tebal dan pas untuk matanya yang bulat. Rambutnya bergelombang sebahu dan ku rasa belum disisir sejak beberapa hari. Ku rapikan rambutnya dengan sisir yang datang entah dari mana. Dia terkejut dan menatapku tajam. Aku sontak menghentikan kegiatanku. “Tak apa, lanjutkan,” katanya kemudian. Dan ia mulai bercerita tanpa diminta.

“Kau tak perlu tahu namaku. Usiaku 27 dan belum menikah. Kau boleh mencemoohku tidak laku atau apalah kau menyebutnya,” tuturnya memperkenalkan diri. Aku cukup terkesan dengan perkenalannya yang tidak biasa dan tanpa basa-basi.

“Belum menikah di usia 27 bukan suatu hal yang besar,” potongku. Entahlah. Kalimat itu muncul begitu saja tanpa dicerna. Mungkin aku hanya ingin membuatnya nyaman. Bodoh. Seharusnya kau sudahi saja dengan mengatakan dia jelek dan tidak laku lalu dia marah dan pergi, kemudian kau bisa kembali ke dunia nyata untuk menyelesaikan pekerjaanmu dan pulang.

“Baguslah kalau begitu.” Dia tersenyum ke arahku. Ada sesuatu berkilat di matanya. Sebuah harapan, mungkin. “Andai saja orangtua dan keluarga besarku punya pemikiran yang sama denganmu, hidupku pasti akan lebih tenang.”

“Kamu dipaksa keluargamu untuk menikah?”

“Ya. Lebih tepatnya, mereka memintaku segera menikah, paling lama pertengahan tahun depan.” Sekarang sudah hampir memasuki triwulan keempat. Ia hanya punya waktu kurang dari setahun untuk menikah. “Andaikan menikah semudah itu. Tidak, tidak. Andaikan menikah bisa dilakukan sendirian, pasti sudah ku lakukan sejak lama. Tak perlulah aku susah payah memilih pasangan.”

Tunggu sebentar. Ide perempuan ini cukup gila. Ku rasa dia pernah membayangkan dirinya menyebar undangan pernikahan bertuliskan namanya dan tanda tanya. Semacam sayembara, mungkin. Tapi mungkin juga hanya sekadar pernikahan formalitas dengan diri sendiri. Aku tak melontarkan keheranan itu. Sepertinya terlalu mustahil dan hanya penafsiranku saja.

“Apakah sesulit itu memilih pasangan?”

“Kau tak tahu? Astaga. Kau pasti tak pernah serius dalam percintaan.” Aku sama sekali tak masalah dengan kalimat itu. Tapi tatapannya tajam dan meremehkan. Aku tak suka orang lain meremehkanku, apalagi untuk urusan yang tak terlalu penting seperti ini. Sudahlah. Usir saja orang itu. “Aku pernah beberapa kali dilamar.” Aku bahkan tak bertanya atau menampakkan keingintahuan yang lebih. Tapi sepertinya ia tak peduli. “Pertama, oleh mantan kekasihku. Setelah setahun berpisah, ia menghubungiku lagi dan mengatakan masih menyayangiku dan mengajakku menikah. Aku pun masih sayang dan senang sekali mendengarnya. Tapi ia punya permintaan setelah menikah. Tidak, itu permintaan ibunya. Ibunya memintaku berhenti dari pekerjaanku sekarang dan diam di rumah mengurus rumah tangga. Dan lagi, orang tuanya yang terlihat masih sangat sehat itu juga minta diurus. Astaga. Aku tak habis pikir. Membayangkan diriku menjadi boneka di rumah sendiri saja aku tak bisa. Aku mati-matian sampai pada jabatanku sekarang, orang ini seenak jidat menyuruhku melepaskan. Bagaimana bisa dia memintaku melakukannya? Tidak, tidak. Bagaimana bisa dia menuruti kemauan ibunya untuk menjadikan istrinya pembantu tanpa bayaran bagi keluarga besarnya?”

“Kamu menolak lamarannya?”

“Tentu saja. Biar saja dia dijodohkan dengan wanita pilihan ibunya yang bisa tunduk dan melayani sepenuh hati. Aku akan sungguh kasihan dengan wanita itu. Dia hanya mengandalkan usaha orang tuanya yang belum seberapa. Entah sampai kapan dia harus bergantung pada harta orang tuanya.” Ia geleng-geleng menatap dinding, menciptakan ilusi mantan kekasihnya terkurung dalam dinding itu. Seketika bayangan kekasihnya hilang, ia melanjutkan, “yang kedua.”

“Yang kedua?”

“Lamaran yang kedua adalah dari orang gila.”

“Gila?”

“Ya, gila. Aku bahkan tak tahu apa-apa tentang kehidupannya. Tiba-tiba dia ingin menikahiku tanpa latar belakang yang jelas. Dia tak pernah dan tak ada niat untuk memperkenalkanku dengan keluarganya. Mau jadi apa hidup pernikahanku nanti? Gelandangan di kota orang.”

Aku tak tahu jawaban seperti apa yang pantas. Aku sendiri tak tahu seberapa penting peran keluarga dalam pernikahan. Sungguh di luar imajinasiku. Yang ku tahu, pernikahan hanya sebatas menyatukan dua orang dan mengikat janji sampai mati.

“Tidakkah kau juga berpikir dia gila? Semua temanku bilang dia gila.”

“Ya, dia gila. Cukup gila, mungkin,” jawabku tak yakin. “Dan kau tak seharusnya menikahi orang gila, bukan?”

“Tentu saja. Manusia manapun tak mau menikahi orang gila.” Aku mengangguk dan ia bangga melihatku mengangguk lalu menyesap teh yang sudah hampir dingin. “Setelah itu, aku kembali dilamar oleh seseorang. Yang ini sempat membuatku bimbang. Dia baik, perhatian, dan tidak berlebihan. Aku suka caranya menyikapi tingkah dan obrolanku. Tapi, bagaimana aku mengatakannya? Emm, dia,” perempuan ini kembali memandang dinding, menggantungkan kalimatnya di sana. “Wajahnya tidak enak dipandang.”

“Jelek, maksudmu?”

“Tidak juga. Dia hanya sedikit hitam.” Ia hempaskan pandangannya dari dinding menuju cangkir teh dan menyesapnya lagi. “Memang hitam. Dan saat ku kenalkan dia dengan orang tuaku, kau tahu apa yang mereka katakan?” Aku menggeleng. “Tak adakah yang lebih hitam dari ini, Nak?”

Aku tak tahu sehitam apa pria yang ia ceritakan ini. Dari caranya menggambarkan, sepertinya memang benar-benar hitam. Aku tak begitu yakin. Mungkin dia hanya melebih-lebihkan. Tidak munafik, penampilan memang jadi salah satu pertimbangan memilih pasangan, baik laki-laki maupun perempuan. Tapi seharusnya tak menjadi pertimbangan utama untuk mematahkan kebaikan lain yang lebih penting. Tadi dia katakan dia suka semua tentang pria ini.

“Aku telah berulang kali mempertimbangkannya. Rasanya tak adil bila kehitamannya membuatku menjauh. Aku coba cari kelebihan lain untuk menutupi itu. Dan, nihil. Aku justru ditemukan pada kenyataan bahwa dia seorang pemabuk. Dan aku tak suka pria pemabuk. Pria pemabuk cenderung kasar. Salah seorang temanku punya suami pemabuk dan ia sering dipukuli. Sepertinya dia sudah mengurus gugatan cerai.”

“Berapa banyak temanmu yang gagal dalam pernikahan?”

“Entahlah, aku tak pernah menghitung. Mungkin 5 atau 7.” Banyak juga, pikirku. “Tunggu dulu. Sepertinya mereka harus bertanggung jawab atas apa yang menimpaku saat ini. Mereka membuatku takut akan mengalami kegagalan serupa dan mulai menentukan batasan-batasan untuk terhindar dari perceraian.”

“Batasan? Sejauh apa kamu menentukan batasan dalam memilih pasangan?”

“Aku tak tahu pasti. Yang jelas, aku sulit mempercayai lelaki.”

“Dan kau selalu mencari kekurangan mereka agar terhindar dari kemungkinan-kemungkinan akan gagal?”

“Ku rasa begitu.” Ia mengangkat cangkir teh dan kosong. “Boleh aku minta teh lagi?”

“Tentu saja. Tunggu sebentar.” Aku membawa gelas tersebut ke dapur dan kembali membawa gelas berisi teh hangat.

Perempuan itu menghirup uap teh yang masih menari dengan gerakan lambat, melenggak-lenggok bak penari Ketuk Tilu. Puas dengan itu, ia menaruh gelas ke atas meja tanpa menyesapnya sama sekali. “Aku jarang sekali bertahan lama mengobrol dengan lelaki. Susah sekali menemukan yang benar-benar nyaman. Aku tak suka laki-laki yang perhatian berlebihan dan cenderung posesif, yang menyuruhku melakukan ini dan itu.”

Lagi lagi, ia melanjutkan cerita tanpa diminta. Tak ada yang bisa memastikan aku masih tertarik dengan ceritanya setelah ia merepotkanku begini rupa. Bisa saja aku menghentikannya, tapi aku justru menaruh perhatian penuh pada ceritanya. Meski tak mengenal perempuan ini, aku merasa begitu dekat dengannya. Ada semacam magnet di bola matanya yang tak bisa ku hindari. Dan semakin aku tahu lebih banyak, semakin aku merasa mengenalnya sejak lama, lama sekali.

“Aku tak suka ditanya sudah makan atau belum. Apalagi sampai disuruh segera makan sekarang juga dengan alasan agar aku tidak sakit. Omong kosong. Perhatian yang seperti itu bagiku terlalu mengada-ada. Aku tak suka hidupku diatur hanya dengan sebuah ikatan yang tak pasti.”

Khayalanku buyar seketika mendengar krusak-krusuk di sekitarku. Sudah pukul 5 sore. Semua orang mulai bersiap-siap pulang. Ku lihat tumpukan kertas di meja kerjaku belum berkurang sama sekali. Ah, sial. Aku sedang tak ingin lembur.

“Kamu tidak pulang?” Ibu Bertha, atasanku, membawa tas jinjing dan paperbag merek baju ternama. Ia terlihat tergesa-gesa. Tak biasanya ia pulang tepat waktu. Sebelum pamit, ia melirik tumpukan kertas di mejaku dan menyarankan, “Tak perlu lembur. Masih ada hari esok.”

Aku tersenyum mengiyakan dan membereskan meja kerjaku. Teringat sesuatu, aku segera memasukkan barang ke dalam tas dan mengejar Ibu Bertha yang sudah hampir sampai lift. Langkahnya lebar meski memakai sepatu hak tinggi. Meski begitu, tak terlihat terburu-buru dan terkesan natural. Aku senang caranya berjalan. Anggun dan berwibawa, dan menguapkan energi menyenangkan. Aku sering meniru caranya berjalan. Tapi aku tak pernah tahan menggunakan sepatu hak tinggi lebih dari 30 menit.

“Bu Bertha!” panggilku sebelum ia masuk ke dalam lift. Ia menahan tombol turun dan menoleh. “Di usia berapa ibu menikah?”

Matanya membesar. Tak percaya aku menanyakan hal itu di waktu yang bisa dibilang tidak tepat. Aku sendiri juga tak percaya pertanyaan itu muncul dari mulut bawahan sepertiku. Mungkin dia menilaiku lancang dan menyadarinya membuatku menyesal. Aku pasrah apakah besok masih boleh kembali menginjakkan kaki di kantor ini atau tidak. Aku melihat sosoknya sebagai wanita sempurna. Cantik, ramah, karirnya pun bagus. Rasanya semua hal berjalan baik di hidupnya. Tapi, katanya, pernikahan wanita berkarir tak selancar jabatannya. Dan itu membuatku penasaran.

“Aku menikah di usia 27. Masuklah, liftnya enggan menunggu lebih lama.”

Kami berdua masuk dan tidak ada siapapun. Aneh sekali. Biasanya lift selalu penuh di jam pulang begini. “Aku menikah di usia yang relatif matang, jika tidak dibilang terlalu tua. Keluargaku bilang aku hampir jadi perawan tua dan terlalu asyik dengan karir. Tapi aku bahagia dengan pasanganku, sama seperti mereka yang menikah di usia muda.”

Aku bahkan tak berniat menanyakannya lebih lanjut, ia mengatakannya tanpa ku minta. Mendengarnya masih mau menjawab pertanyaanku tanpa mengusir saja sudah membuatku lega. Apakah perempuan selalu menceritakan kisahnya tanpa diminta? Tapi yang jelas, aku dapat jawaban yang ku inginkan.

“Kamu berencana menikah di usia berapa?”

“Belum tahu, Bu. Masih senang sendiri.”

“Dulu aku juga begitu. Tak apa. Bersenang-senanglah sampai kamu temukan sendiri bahwa ada waktu yang tak bisa kamu jalani sendiri.”