Photo by Przemyslaw Reinfus on Unsplash
Februari, Sebuah Permulaan – hari keenambelas
Di kamar yang jauh dari kata layak ini, aku tak menemukan apa pun kecuali ingin segera bergegas keluar. Lantai kusam, kasur lapuk, tembok penuh bekas stiker dan paku. Belum lagi lemari plastik empat tingkat yang salah satu tingkatannya sudah tak bisa kugunakan karena bolong. Satu-satunya yang membuatku memilih kos ini adalah harganya yang jauh dari rata-rata kos di Jakarta, dengan kamar mandi yang cukup bersih, tak sepadan dengan kamar yang kudapatkan. Kelak, jika aku sudah mendapat gaji yang pertama, aku akan segera pindah mencari kamar yang lebih nyaman.
Setelah menetap satu malam di kamar yang lusuh ini, aku menemukan satu alasan lagi untuk membuatku menyamankan diri di sini. Burung pipit yang berkicau merdu di ranting pohon kering depan jendela kosku. Kupikir hanya kebetulan. Rupanya, ia datang setiap pagi, mengajakku berdendang di pagi yang cerah. Kicauannya baru akan hilang saat aku mengunci pintu untuk pergi ke kantor. Di depan pagar, sering aku intip burung pipit itu sudah terbang ke arah barat, sedang aku pergi ke arah utara. Sayapnya menyala merah, mengepakkan semangat. Terbang semakin tinggi.
Tuhan pun adil. Meski malam di kos serasa ingin mati, aku ingin hidup selamanya saat berada di kantor. Masuk ruang kerja, aku sudah bisa mencium kue bolen, atau bolu kukus, atau bolu panggang, atau bahkan gorengan. Seiring berjalannya waktu, menu sarapanku bervariasi. Tak ada pagi tanpa makanan di meja pantry. Aku tak perlu repot memikirkan sarapan apa setiap pagi. Hanya perlu menyisihkan uang sedikit untuk makan siang di depot makan seberang jalan atau trotoar depan kantor.
Aku bekerja di sebuah perusahaan periklanan sebagai copywriter. Seminggu bekerja, aku mendapat rumor bahwa makanan yang selalu ada setiap pagi itu disubsidi account manager. Kukatakan rumor karena berita yang kudapat tak pernah berhenti pada fakta itu. Bahwa account manager yang dimaksud adalah seorang perempuan. Bahwa pria-pria di kantor ini tak pernah suka dipimpin oleh seorang perempuan, yang katanya sentimental, tidak terarah, banyak maunya, dan masih banyak lagi. Makanan-makanan itu diduga sebagai upaya membuat timnya nyaman bekerja dengannya. Yang terjadi bukanlah demikian.
“Halo, Syifa. Mau makan siang dengan saya?”
Itu dia account manager perempuan yang sering digunjingkan timku. Namanya Rara, seorang perempuan usia dua puluh tujuh dengan tinggi 165 sentimeter, dua senti lebih tinggi dari aku. Awal aku masuk di sini, rambutnya masih sebahu, bergelombang dan tertata rapi di balik punggungnya. Hari ini, rambutnya sudah sebahu, tanpa poni, dengan tambahan kacamata kotak berwarna coklat. Bila aku pria, mungkin aku akan mengencani wanita ini.
Aku mengiyakan ajakannya, dan kami makan di sebuah rumah makan Italia tak jauh dari kantor. Satu-satunya masakan Italia yang kutahu hanya spaghetti. Itupun spaghetti instan yang biasa dijual di pasaran, yang sudah pasti rasanya akan jauh berbeda. Memesan spaghetti hanya akan membuat diriku terlihat terlalu bodoh, sedangkan aku tak bisa menentukan menu lainnya. Akhirnya aku hanya membeo apa yang ia pesan. Dua porsi panzanella dan dua gelas lemon tea. Aku tidak tahu apa itu panzanella. Aku mengintip buku menu, dan kulihat harganya lebih dari seratus ribu. Aku membayangkan sepiring daging lezat khas Italia yang mampu bertahan di perutku sampai malam, sehingga aku bisa melewatkan makan malam dan bertemu dengan sarapan gratis keesokan paginya.
Tak ada daging di piringku. Hanya potongan roti, tomat, bawang bombay, irisan cabai, dan potongan daun yang setelah kucicip adalah kemangi. Rasanya perutku akan meronta sebelum jam 3 sore.
“Bagaimana bekerja di sini? Betah?” tanyanya di sela makan.
Betah dalam benakku mengarah pada subsidi sarapan di pantry. Tapi aku tak mungkin mengatakan itu. Aku hanya mengangguk pelan. Tidak ingin terlihat terlalu bersemangat.
“Saya harap kamu betah. Kamu satu-satunya pelamar perempuan, dan saya ingin membuktikan bahwa perempuan bisa berjaya di kantor ini,” katanya. “Bukan berarti saya memilih kamu karena kamu perempuan. Saya sudah baca cv kamu, dan sepertinya saya akan cocok bekerja dengan kamu.”
Sebenarnya, aku tidak peduli alasan dia menerima aku di antara puluhan pelamar dimana aku satu-satunya perempuan. Yang kubutuhkan hanya pekerjaan, dan cuan untuk mencari kos lebih layak.
==
Tulisan lainnya dalam kompilasi bertajuk “Februari, Sebuah Permulaan”
Latar belakang : Februari, Sebuah Permulaan
Hari pertama : Mendamba Motivasi
Hari kedua : Loncatan Spiritual Seekor Katak
Hari ketiga : Eksklusivisme Agama dan Pemikiran
Hari keempat : Meniadakan Kehilangan
Hari kelima : Sepragmatis Orang-orang Tua
Hari keenam : Keluarga yang Tak Sempurna
Hari ketujuh : Orang yang Berharga
Hari kedelapan : Berkontribusi
Hari kesembilan : Terdera Kebermanfaatan
Hari kesepuluh : Redup dan Padam
Hari kesebelas : Anggrek Terakhir Ayah
Hari keduabelas : Habiskan Makananmu, Nak!
Hari ketigabelas : Surat dari Kota Pelangi
Hari keempatbelas : Formasi Harapan Batu Sungai
Hari kelimabelas : Biru Mengudara di Langit Jakarta