Photo by simon peel on Unsplash

 

Februari, Sebuah Permulaan  – hari keduabelas

Aku memarkir motorku di dekat penjual sayur yang sedang memilah sayur dagangannya yang sudah mulai membusuk. Berada di pasar seperti ini membuatku mengingat Ibu. Ia yang selalu mengajari anak-anaknya untuk makan dengan sadar. Ia yang selalu mengomel melihat piring yang tidak bersih, menyisakan makanan yang tidak habis.

“Habiskan dulu yang di piring, Kak. Ambil secukupnya. Nggak baik. Mubadzir,” begitu pesannya setiap aku mulai kalap mengambil cah brokoli, makanan favoritku.

“Kenapa sih, bu? Sisanya nggak akan banyak kok,” bantahku kala itu yang masih berusia sepuluh tahun.

Besoknya, ia mengajak aku belanja ke pasar tradisional yang berjarak tujuh ratus meter dari rumah. Ia mengarahkan pandangannya pada pedagang yang sedang memilah sayuran busuk, memintaku mengamati aktivitas yang sama.

“Sebelum kamu makan, sayur itu sudah menghasilkan sampah. Sebelum sampai ke pedagang itu, lebih banyak lagi sayur yang hilang. Tidak semua panenan petani bagus dan layak dipasarkan. Hasil panen yang tidak layak akan disingkirkan.”

Besoknya, ibu mengajakku ke pasar induk. Kami melewati truk-truk besar yang sedang menurunkan muatan. Ada sayur, buah, rempah-rempah, dan masih banyak lagi. Para kuli membawanya dalam karung, dipanggul atau didorong menggunakan troli. Kata ibu, muatan truk-truk itu dari para tengkulak.

“Setelah dipilah, hasil panen petani diberikan pada tengkulak yang mendistribusikannya ke agen-agen di berbagai daerah. Sayur dan buah yang kamu makan tadi pagi bisa jadi berasal dari daerah yang jauh, sehingga butuh beberapa hari untuk bisa sampai di pasar induk dan agen. Perjalanan truk-truk itu memerlukan bahan bakar dan menghasilkan polusi yang tidak sedikit. Belum lagi produk impor yang harus dikirim melalui udara, polusinya lebih banyak lagi. Sampai situ saja, sudah banyak yang Kakak buang ke lingkungan.”

“Tapi yang aku buang kan cuma sisa makanan di piringku, Bu,” bantahku.

Ibu tersenyum sambil mengelus rambutku yang lupa kukuncir. Ia menyuruhku memilih sayuran yang kusukai. Tentu saja aku memilih brokoli. Tiga puluh lima ribu per kilogram.

“Tiga puluh lima ribu yang Kakak kasih ke pedagang tadi bukan hanya untuk membayar brokoli yang Kakak pilih, tapi juga brokoli-brokoli yang busuk atau rusak selama perjalanan.”

“Kok bisa, Bu?”

“Lihat sayur dan buah yang menumpuk di pinggiran truk itu! Siapa yang membayar semua itu?”

“Pedagangnya dong, Bu.”

“Kalau pedagang harus membayar semua itu, mereka akan rugi, Kak. Nggak ada pedagang yang mau rugi. Biar nggak rugi, biaya sayur dan buah yang rusak itu dibebankan ke pembeli.”

“Trus apa hubungannya sama sisa makanan di piringku, bu?” tanyaku yang saat itu masih tidak mengerti juga.

Keesokannya, Ibu memberiku buku tentang sampah organik, dan berkata, “Pertanyaan kamu kemarin, jawabannya ada di sini. Coba kamu cari tahu. Setelah itu, coba kamu ceritakan ke Ibu.”

 

==

Tulisan lainnya dalam kompilasi bertajuk “Februari, Sebuah Permulaan”
Latar belakang : Februari, Sebuah Permulaan
Hari pertama : Mendamba Motivasi
Hari kedua : Loncatan Spiritual Seekor Katak
Hari ketiga : Eksklusivisme Agama dan Pemikiran
Hari keempat : Meniadakan Kehilangan
Hari kelima : Sepragmatis Orang-orang Tua
Hari keenam : Keluarga yang Tak Sempurna
Hari ketujuh : Orang yang Berharga
Hari kedelapan : Berkontribusi
Hari kesembilan : Terdera Kebermanfaatan
Hari kesepuluh : Redup dan Padam
Hari kesebelas : Anggrek Terakhir Ayah