Photo by Cherry Laithang on Unsplash

 

Februari, Sebuah Permulaan  – hari kesepuluh

 

Aku sudah mematikan lampu saat tiba-tiba ada seorang anak menghampiriku dalam khayalan. Bisakah nyalakan lampunya? Tubuhku menuruti permintaannya. Tanganku menggapai sakelar lampu dan menyalakannya lagi. Kosong. Anak itu hilang.

Sial. Jangan-jangan anak kecil itu lagi, pikirku kemudian.

Kurebahkan tubuhku dengan tetap membiarkan lampu menyala. Kupejamkan mata, meski aku tahu tak akan bisa tidur sebelum lampu padam. Tidur memang bukan tujuanku memejamkan mata. Aku ingin menjelajahi khayalanku, mencari anak tadi. Kususuri jaringan saraf di otakku, hingga kudengar sapaan, “halo”.

Anak itu berdiri di belakangku. Lelaki dua belas tahun dengan seragam merah putih beratribut lengkap. Kurasa ia baru saja pulang sekolah.

“Bisa bantu aku menyalakan lampu di rumah?” ucapnya.

“Tentu. Dimana rumahmu?”

Ia menunjuk rumah di ujung jaringan otakku. Satu-satunya rumah yang terlihat. Gelap. Aku berjalan bersamanya ke rumah itu. Tanpa berpikir, seolah berada di rumahku sendiri, aku tahu dimana saja letak sakelar dan menyalakan semua lampu. Anak itu berterima kasih, sambil mengeluarkan kunci dari dalam tasnya. Aku mengikutinya masuk dan menyalakan satu per satu lampu.

“Mau minum? Akan kuambilkan air putih.”

Aku menggeleng dan lebih tertarik mengamati foto keluarga di ruang tengah. Ayah, ibu, dan dua orang gadis usia dua puluhan. Siapa anak kecil yang bersamaku ini? Kenapa ia tak ada di foto keluarga?

“Itu Papa dan Mama, dan dua kakakku.”

“Kamu?”

“Aku di sini,” jawabnya polos.

“Mereka dimana?”

“Mama dan Papa kerja. Kalau kak Bintang dan kak Lola kerja di Jerman.”

“Mama dan Papa kerja pulang jam berapa?”

“Pulangnya malam terus. Nggak tahu jam berapa, soalnya aku udah tidur.”

Ia mengambil dua butir telur dari dalam kulkas dan menggorengnya. Sambil menunggu telurnya matang, ia mengambil dua piring dan mengisinya dengan nasi hangat. Ia menaburi sedikit garam pada telurnya. Telur yang matang ia bagi dua dan diletakkannya di masing-masing piring. Piring yang satu disodorkannya ke arahku.

“Setiap hari kamu buat makan sendiri?”

Ia menggeleng. “Biasanya ada mbak Nita yang buatin aku sup. Dia tahu aku suka sup. Jadi, tiap hari dia masakin aku sup. Tapi mbak Nita lagi pulang kampung. Sebelum pulang, mbak Nita ngajarin aku bikin sandwich dan ngerebus telur buat sarapan, sama nyeplok telur buat makan malam.” Dia menyendok nasi dan sedikit telur di piringnya. “Aku minta diajarin buat sup. Katanya, nanti kalau udah gede, aku diajarin masak sup.”

“Aku bisa masak sup. Kamu mau?”

Ia mengangguk bersemangat.

Aku membuka kulkas. Tak ada apa pun kecuali telur dan susu. “Bahan-bahannya nggak ada. Besok aja gimana?”

Ia melanjutkan makannya dengan lesu.

“Tapi aku punya bahan-bahannya di rumahku. Aku ambil dulu ya.”

Ia kembali bersemangat. “Aku tunggu ya, Kak.”

***

Kubuka mataku dan langsung pergi ke dapur. Kukeluarkan ayam, bawang putih, wortel, kentang, daun bawang, dan daun seledri. Kuambil kotak bumbu. Kupastikan ada garam dan merica. Kubawa semua itu ke kamar.

Tiba-tiba lampu padam.

“PLN sialan. Bagaimana aku ke sana kalau lampunya padam?” gerutuku.

 

==

Tulisan lainnya dalam kompilasi bertajuk “Februari, Sebuah Permulaan”
Latar belakang : Februari, Sebuah Permulaan
Hari pertama : Mendamba Motivasi
Hari kedua : Loncatan Spiritual Seekor Katak
Hari ketiga : Eksklusivisme Agama dan Pemikiran
Hari keempat : Meniadakan Kehilangan
Hari kelima : Sepragmatis Orang-orang Tua
Hari keenam : Keluarga yang Tak Sempurna
Hari ketujuh : Orang yang Berharga
Hari kedelapan : Berkontribusi
Hari kesembilan : Terdera Kebermanfaatan