Photo by Mathias P.R. Reding on Unsplash
Februari, Sebuah Permulaan – Hari ketujuh
Baru tadi pagi aku memeluk Bima, berbahagia mendapati kabar ia akan meminang seorang gadis yang dicintainya. Kami sudah sibuk merencanakan banyak hal. Mengatur pertemuan keluarga, memilih cincin lamaran, seragam, dekorasi, hingga membuat rincian anggaran acara. Lima tahun lalu, ia yang mengatur semua itu untuk pernikahanku. Segala hal dipikirkannya dengan matang, seolah mengatur pernikahannya sendiri. “Acara spesial nih. Harus sempurna,” ucapnya kala itu. Aku pun ingin membantunya mengatur hari bahagianya.
Sepulang dari rumahku, aku mendapat kabar ia mengalami kecelakaan. Aku bergegas ke rumah sakit. Ia mengalami pendarahan parah dan sedang berada di ruang operasi. Seorang suster menyerahkan kotak kayu hexagonal. “Jatuh sesaat sebelum operasi, Mbak”, ucap sang suster. Kudekap erat kotak kayu yang berisi cincin lamaran itu. Berharap masih bisa melihatnya memberikan ini pada gadis yang ia cintai.
Waktu terus berjalan. Di sebelahku, sudah ada Sara, kekasih Bima. Ia sama kacaunya dengan aku. Tak bisa ia diam di kursi. Duduk, berdiri lagi, duduk lagi. Berulang kali ia bertanya padaku, mencari penguatan, bahwa Bima akan baik-baik saja. Setelah itu, ia akan menarik napas dalam dalam-dalam, memejamkan mata, dan mengembuskannya perlahan. Berusaha mencari kekuatan dari dalam dirinya sendiri. Kau sungguh beruntung, Bima. Jangan biarkan gadis ini lebih kacau dari ini.
Seorang dokter keluar dari ruang operasi. Raut mukanya tak menunjukkan kelegaan. Aku bahkan tak kuasa mendekat untuk sekadar bertanya dan meyakinkan. Hanya Sara yang mendekat. Menetes air matanya mendengar jawaban sang dokter.
Hilang seluruh harapan melihat Bima tersenyum, menggamit gadis yang ia cintai dengan latar dekorasi buatanku. Hilang seluruh penguat hidupku, yang selalu ada dalam sulit dan senangku. Rusak segala rencana bahagianya. Tersisa aku dan kesedihan yang entah sampai kapan akan terus berlarut
—
“Mas Rafli ke luar kota lagi, mbak?”
Aku mengangguk seadanya. “Kamu belum makan kan? Mbak buatin sop iga kesukaan kamu nih.”
Kami berjalan ke dapur dan makan bersama.
“Mas Rafli kenapa masih mau ambil kerjaan ke luar kota sih? Kalo Ibu tahu, pasti dia kepikiran.”
“Makanya Ibu jangan sampai tahu.”
“Punya anak tuh keinginan Mbak sama Ibu doang atau Mas Rafli juga sih?
“Ya semuanyalah, Dik.”
“Semuanya itu siapa aja? Mas Rafli juga?”
Aku diam.
“Bukannya kalian harus sering ketemu dan program hamil? Tapi kenapa Mas Rafli nggak berhenti ambil kerjaan ke luar kota? Kulihat, dia nggak ada usaha buat punya anak, Mbak.”
Aku masih diam.
“Sebenarnya Mbak udah tahu kalau Mas Rafli nggak mau punya anak, kan?”
Tahun pertama pernikahan, Rafli, suamiku, memang pernah menyatakan dia belum ingin punya anak. Aku sepakat. Kami masih butuh waktu menyesuaikan kehidupan baru dan menyelami satu sama lain. Tahun kedua pun berjalan baik-baik saja. Tahun ketiga, aku mulai iri melihat teman-temanku mengunggah aktivitas bersama anak-anak mereka. Tahun keempat, aku membicarakan hal ini dengan Rafli dan ia tetap belum ada keinginan. Tak ada yang tahu mengenai ini kecuali kami berdua. Ini tahun kelima. Beberapa bulan lalu, aku kembali bertanya dan ia masih belum berencana memiliki anak. Tak ada alasan. Ia hanya menekankan bahwa ia belum ingin punya anak, seberapa sering pun Ibu mendesak. Bahkan bukan hanya Ibu. Aku juga sudah ingin punya anak. Tapi perkara anak tak bisa kuputuskan sendiri.
“Mbak nggak pernah diskusi ini sebelum nikah?”
Aku menggeleng. “Yang Mbak tahu, setelah menikah ya punya anak.”
“Mana ada rumus begitu, Mbak.”
“Yang penting Ibu jangan sampai tahu ya.”
“Tapi Mbak nggak papa?”
Ia yang paling tahu, bahkan jauh lebih tahu daripada suamiku, perasaanku begitu rapuh. Satu-satunya yang menempatkan perasaanku di posisi pertama. Pilihan apa pun yang kuputuskan, ia selalu bertanya bagaimana perasaanku. Tak jarang, pada akhirnya, pendapatnyalah yang sepatutnya aku pilih. Tapi ia tak pernah memojokkanku. Ia selalu hadir di setiap keputusan besarku. Memberiku berbagai pertimbangan yang harus kupikirkan matang-matang. Meski tiga tahun lebih muda dariku, jalan pikirnya lebih dewasa dariku. Ide-idenya sangat berharga, sama berharganya dengan kehadirannya sendiri.
Kau terlalu berharga untuk pergi secepat ini. Kutunggu kau di setiap mimpiku.
==
Tulisan lainnya dalam kompilasi bertajuk “Februari, Sebuah Permulaan”
Latar belakang : Februari, Sebuah Permulaan
Hari pertama : Mendamba Motivasi
Hari kedua : Loncatan Spiritual Seekor Katak
Hari ketiga : Eksklusivisme Agama dan Pemikiran
Hari keempat : Meniadakan Kehilangan
Hari kelima : Sepragmatis Orang-orang Tua
Hari keenam : Keluarga yang Tak Sempurna
Andi
Sudahi masa gadismu, sempurnakan agamamu dengan kekasih hatimu..
Pasti tambah cerdas jendral..