Photo by Luke Chesser on Unsplash
Hidup ini adalah tentang meluangkan waktu. Hanya karena aku memutuskan bersamamu setiap pukul 6 sore, bukan berarti aku tak punya kesibukan lain. Coba kau lihat lagi kalimatku itu. Aku sengaja menaruh kata ‘memutuskan’ di sana. Sebuah kata kerja yang menunjukkan upaya, bukan kata benda yang merupakan hasil. Bersamamu adalah sebuah upaya, bukan hasil yang diberikan begitu saja. Aku mengupayakan waktuku untukmu karena aku ingin melakukannya. Bukan karena aku harus melakukan itu.
Tidakkah kau lihat upaya itu? Mengapa masih bisa kau katakan kalimat yang begitu menyakitkan di sore itu? Kalimat yang membuatku berpikir kembali, upayaku ini untuk apa?
—
Jam di kantor menunjukkan pukul lima lebih tiga puluh menit. Ruang tempatku bekerja masih sibuk saja. Meski begitu, aku sudah selesai dengan pekerjaanku. Aku pun merapikan meja kerja dan berpamitan.
“Kamu sudah selesaikan semuanya?” tanya Pak Hafid, kepala divisi utama. Aku mengangguk.
“Dia tidak istirahat demi menyelesaikan laporan itu, pak,” sahut Silvi. Ia tahu aku masih sibuk dengan statistik laporan tahunan saat yang lain sudah mulai meninggalkan kantor untuk sejenak melepas diri dari pekerjaan, dengan menikmati makan siang yang ditawarkan di berbagai tempat makan terdekat.
“Laporan Lana untuk sub-divisi satu sudah saya cek di email dan sudah oke, pak. Tinggal digabung dengan laporan dari sub-divisi dua dan tiga,” lanjut Arini. Aku dan Arini masuk di tahun yang sama, tapi ia lebih gigih daripada aku. Ia rela pulang malam demi menyelesaikan pekerjaan. Tak sampai setahun, ia diangkat menjadi validator. Mungkin sebentar lagi dia akan menjadi koordinator sub-divisi 1, menggantikan Bang Rane yang beberapa minggu lagi pindah ke kantor pusat. Sementara ia naik satu tingkat lagi, nampaknya aku masih akan di posisi ini. Silvi, yang masuk setahun setelah aku, mungkin akan naik jabatan sebentar lagi. Mungkin aku juga akan tetap pada posisi ini.
Bagiku, posisi bukanlah masalah. Justru, aku dengan senang hati membiarkan beberapa junior menduduki posisi di atasku. Yang baik untuk mereka belum tentu baik untuk diriku bukan?
Aku berpamitan sekali lagi. Sepuluh menit sudah berlalu. Tersisa dua puluh menit. Tak mungkin aku sampai danau dalam waktu hanya dua puluh menit bila aku naik bus seperti biasa. Beruntung, aku berpapasan dengan Aksa. Ia menawarkan tumpangan. Awalnya aku ragu mobil Aksa yang sama sekali tidak kecil itu bisa menerobos sesaknya jalanan Ibukota pada jam pulang kerja.
“Kupastikan sampai sana sebelum jam enam, deh,” katanya meyakinkan.
Aku pun menurut dan masuk ke mobilnya. Kali ini, kupercayakan waktuku padanya. Masih lebih baik daripada membiarkan waktuku mengambang dan terbang dibawa angin.
Ia melajukan mobilnya di jalan raya dengan kecepatan stabil, cenderung lambat. Aku mulai khawatir, perilakunya tak semenyakinkan ucapannya beberapa detik lalu. Beberapa meter kemudian, ia membelokkan setirnya mengikuti jalan-jalan kecil. Tidak sekecil jalan kampung. Tidak juga sebesar jalan protokol. Jalan satu arah yang hanya memungkinkan satu mobil dan motor berjalan bersisian. Kecepatannya masih stabil dan tidak berubah. Santai sekali. Ia seolah mengajakku tamasya berkeliling kota, bukan sedang memburu waktu.
“Danau ini, kan?” ucapnya memecah keheningan.
Aku melihat sekitar dan mengetuk layar ponselku. Pukul lima lebih lima puluh sembilan. Aku tak percaya bisa sampai sebelum jam enam. Ia hanya tersenyum singkat dan aku mengucapkan terima kasih sebelum melepas sabuk pengaman.
Telat semenit dua menit masih okelah, batinku.
Aku bergegas menuju ke utara. Di dekat pohon berdahan kering, duduk seorang pria yang kutahu betul siapa. Aku mempercepat langkahku sembari sesekali melihat jam di ponsel. Semakin dekat, aroma parfumnya semakin memanjakan hidungku. Wangi citrus dengan sentuhan aroma green tea yang menenangkan.
“Udah lama?” sapaku, saat jarakku berdiri hanya menyisakan sebuah bola sepak untuk lewat di antara kami. Ia mengambil bola itu dan melemparnya ke arah anak-anak di belakang sana yang sedang menanti bola dilempar secepatnya, tanpa berniat menghampiri. Dasar anak-anak tidak bertanggung jawab, ucapku lirih sambil tertawa tipis.
“Kamu telat lima menit,” katanya kemudian sembari melirik jam di tangannya.
Aku pun mengecek ponselku. Benar saja, sudah pukul enam lebih lima menit. Ia selalu begitu menghargai waktu. Aku masih tak percaya masih ada orang yang sebegitunya dalam memaknai waktu. Masyarakat mendoktrinku bahwa bangsa ini tak bisa membiarkan waktu berjalan sesuai rencana. Selalu ada alasan untuk membuat waktu seakan bisa ditarik dan diulur semau manusia. Betapa pandai pun manusia mengulurnya, waktu tetaplah waktu. Ia tak pernah bisa berdetak lebih dari 86.400 kali dalam sehari. Lebih baik memanfaatkannya dengan baik, daripada harus mengulur sesuatu yang sebenarnya tidak terulur, begitu yang pernah ia katakan.
“Kita sudahi saja, ya,” ucapnya kemudian.
Aku baru saja duduk di sampingnya dan seketika menoleh ke arahnya. Mungkin aku salah dengar. Jika pun pendengaranku benar, aku mencoba menggapai berbagai arti ‘kita sudahi saja’. Mungkin ia sudah terlalu lama di sini dan merasa sudah selesai melihat sekeliling, sehingga ia mengajakku ke tempat lain. Mungkin ia ingin menyudahi perdebatanku mengenai betapa telatku yang hanya lima menit ini bisa dimaklumi, meski aku sendiri belum mulai berdebat dan tak berkeinginan untuk itu.
“Kamu susah banget buat menghargai waktu. Aku nggak bisa memakluminya terus menerus,” jelasnya kemudian.
Aku menyandarkan punggung dan memejamkan mata. Mencoba berpikir jernih dan membuang napas sekuat-kuatnya, seakan napas ini membebani otakku dan membuat pendengaranku sulit bekerja dengan baik.
“Aku serius, Lana.”
“Lalu?” jawabku santai.
“Ya sudah. Selesai.”
“Oke,” jawabku singkat.
Aku mencoba mengumpulkan jawaban lain seperti ‘kenapa?’, ‘selesai bagaimana?’, ‘tidak bisakah kita kompromikan dulu?’, atau dengan mendebat petuahnya mengenai waktu yang begitu ia agung-agungkan itu. Tapi, yang mampu terucap hanya jawaban ‘oke’, singkat tanpa imbuhan apa pun. Kemudian ia berdiri dan menawarkan diri mengantarku pulang. Aku menerima tawaran itu, dan kemudian kuakui sebuah kebodohan dan bukti betapa aku tak bisa berpikir pada saat itu.
Kami hanya diam dalam perjalanan pulang. Satu-satunya kalimat yang muncul hanya dari dia, “sudah sampai.” Entah apa yang kupikirkan saat itu. Mungkin memang tidak ada. Kaki dan tanganku bergerak begitu saja menuntunku turun dan masuk ke kamar. Kepalaku layaknya pabrik yang mendadak mati listrik dan seluruh mesin di dalamnya berhenti beroperasi.
Melewati kaca di samping tempat tidur, aku berhenti. Perlahan-lahan, kesadaranku mulai terbangun.
“Siapa dia, berani-beraninya mencampakkanku dengan alasan yang tidak masuk akal?”
Aku mendengus kesal. Entah bagaimana mendefinisikan hubungan ini. Tidak bisa dikatakan pacar karena ia tak pernah suka istilah itu. Tapi, mengingat hari-hari yang kami lalui beberapa tahun belakangan, terlalu bodoh untuk dikatakan sebagai teman. Kemudian, tiba-tiba ia memilih kata ‘selesai’ untuk mengakhiri hubungan rumit ini. Konyolnya, keterlambatanku yang hanya lima menit menyebabkan kata itu keluar. Biar kuulangi sekali lagi.
Hanya lima menit.
Satu tahun pertama dengannya, aku memang masih Lana yang terbiasa telat. Ia akan mengomentariku banyak hal tentang pentingnya memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Kala itu, komentarnya tentang waktu adalah hal yang lucu dan aku suka ocehannya. Aku akan tertawa dan menutup petuahnya dengan, “Sudah selesai, Bunda?”.
Lambat laun, aku mulai mengikuti kebiasaannya. Menghargai waktu sebaik-baiknya. Tidak ada lagi Lana yang datang terlambat. Rudy membuat seorang Lana berada di kantor sejak 09:30, tiga puluh menit sebelum jam kerja dimulai. Rudy juga yang membuat seorang Lana meninggalkan kantor tepat jam 5 sore setiap harinya. Kemudian bergegas ke danau, menemani Rudy merangkai harapnya yang pernah hilang di sana. Lana tak tahu persis harapan apa yang hilang di danau itu dan ia tak ingin menggali lebih jauh untuk menjaga perasaan lelaki itu. Meski sudah dekat sekian tahun, masih banyak yang belum Lana tahu. Rudy adalah seorang pria dengan benteng yang kuat di banyak hal. Tak banyak yang bisa ia bagi ke orang lain, kecuali pada diri sendiri.
Aku mendengus lagi. Aku malas mengingat tentang dia lagi dan membenamkan kepalaku di bawah bantal. Rasanya aku ingin membunuh ‘waktu’ yang menyebabkan semua kekacauan ini.