Gambar oleh Guilherme Gomes dari Pixabay

Dalam secangkir kopi, aku menemukan kedamaian. Tentu saja dengan tambahan sedikit gula agar pahitnya terobati. Sedikit saja, tak perlu terlalu banyak. Kebanyakan gula hanya akan menimbulkan semu. Aku pernah mencoba menambahkan gula lebih dari takaranku yang biasa. Meski manis, rasanya jadi tak senikmat biasanya. Pahit yang sebenarnya ada, menjadi semu. Tertutup manis yang terlalu menggebu.

Ku pikir kamu seperti kopi. Aku hanya perlu menambahkan gula sedikit demi sedikit untuk mendapat rasa yang pas. Rupanya, kamu tak butuh gula. Kamu hanya ingin dinikmati sendiri. Kamu ingin diseduh dengan air yang benar-benar panas. “Agar pahitnya semakin tajam,” katamu. “Kenapa harus pahit?” tanyaku kebingungan. Kamu diam. Diam dan kian lama kian hilang. Hanya pahitmu yang masih ku rasa. Bertahan bersama tanya akan pahit yang kau tinggalkan.

Aku tak bisa menikmati pahit yang kamu tinggalkan. Apalagi tanpa sosokmu. Baiklah, coba ku racik pahitmu dengan campuran lain. Karena kau menolak gula, ku campur dengan vanila. Manis dan lembut. Tapi tak cukup mendamaikan. Lalu ku ganti dengan garam. Rasanya menggoda. Tapi tetap tak cukup mendamaikan. Ku curi santan yang akan digunakan ibuku untuk memasak. Ku campur bersama pahitmu. Ku teguk secara perlahan. Ku rasakan dirimu hadir memelukku. Pelukanmu aneh, sama anehnya dengan campuran pahit dan santan hasil curian ini.

Aku berhenti sejenak. Menimbang-nimbang pahitmu yang tersisa. Aku tak ingin menikmati pahitmu, juga tak ingin kehilangan secara bersamaan. Hanya ini yang ku punya tentangmu. Baiknya, kamu kembali untuk sekadar memberi petunjuk menikmatinya. Jangan! Jangan suruh aku menikmatinya hanya dengan seduhan air yang benar-benar panas. Seperti yang kamu bilang, dengan begitu pahitnya akan semakin tajam. Aku tak bisa menikmati kepahitannya. Mungkinkah itu maksudmu? Kamu tak benar-benar ingin ku nikmati?

Ketelku sudah mendenging. Tanda airku sudah mendidih. Ku pastikan sudah benar-benar mendidih. Kali ini aku mengalah. Ku ikuti katamu, akan ku seduh pahitmu dengan air yang benar-benar panas. Tak perlu ku celupkan jari untuk memastikan panasnya. Kau belum bisa membuatku sebodoh itu. Cukup ku lihat berapa banyak uap yang menari meliuk-liuk. Satu, dua, lima, tujuh. Ah, entahlah. Anggap saja sudah benar-benar panas. Ku tuang ke dalam cangkir yang sudah ku isi pahitmu. Itu pahitmu yang terakhir.

Kali ini aku tak mau gagal. Ku pastikan pahitmu yang terakhir benar-benar bisa ku nikmati. Sendiri, hanya dengan seduhan air yang benar-benar panas. Ku letakkan secangkir seduhan pahitmu di atas meja dan aku duduk di dekatnya. Ku pandangi hitammu. Pekat yang tak pernah ku perhatikan sebelumnya. Ku hirup aroma yang meliuk menggoda. Ku peluk hangatmu tanpa harus ku teguk. Kehangatan yang balas memeluk tubuhku. Mendamaikan dengan kedamaian yang ku damba sejak lama. Aku terbuai dan tak sadar terlelap.

Keesokan paginya, ku temukan secangkir kopi yang telah dingin. Ku cari semua tarian lembut yang menggodaku semalaman. Hilang. Semua hilang. Tak ada lagi aroma yang mampu ku hirup. Pelukan hangat juga tak berbekas. Yang tersisa hanya hitam yang pekat. Beginikah akhir yang kau inginkan? Ku teguk kopi dingin di hadapanku. Ku habisi pahitmu yang terakhir dengan getir. Datanglah sekali lagi, dan ku pastikan kamu yang akan ku habisi.