Photo by Emily Morter on Unsplash
Kau tahu betul aku tak bisa minum kopi. Terakhir kita ngopi bersama, aku bergegas mengajakmu pulang karena kepalaku pusing bukan main. Seingatku, belum ada separuh kopi yang ku teguk. Sejak saat itu, kau tak pernah lagi mengajakku ngopi. Padahal, aku tahu betul kau maniak kopi. Pernah ku tawarkan padamu untuk sekadar menemanimu ngopi. “Aku bisa pesan minuman yang bukan kopi dan kamu tetap bisa ngopi,” kataku meyakinkan. Kala itu, kamu menjawab, “Rasanya akan berbeda karena bukan ngopi bareng.” Aku tak tahu sensasi apa yang dirasakan berbeda saat ngopi bersama peminum kopi dan ngopi bersama peminum bukan kopi. Sebagai seorang yang bukan penikmat kopi, aku mengalah saja. Toh, aku tidak tahu kenikmatan minum kopi.
Faktanya, kau benar-benar maniak kopi. Terlihat betul dari ketidaknyamananmu ketika harus minum yang bukan kopi saat bersamaku. Sebenarnya bukan keharusan juga. Aku tak pernah menuntutmu untuk tidak minum kopi. Berkali-kali ku berikan tawaran yang sama. Jawabanmu tetap sama, ngopi harus bersama peminum kopi. Kau sendiri yang memutuskan untuk tidak ngopi.
“Kalau kau tidak bisa ngopi denganku, bagaimana caramu merasa nyaman saat bersamaku?”
“Aku nyaman denganmu meski tidak minum kopi.”
“Benarkah? Sampai berapa lama?”
“Apanya?”
“Sampai berapa lama kau menyembunyikan ketidaknyamananmu?”
Kau tetap bersikeras bahwa kau tetap nyaman bersamaku meski tidak minum kopi. Dan aku selalu mengalah. Sebenarnya aku tak yakin apakah aku berada pada posisi yang mengalah. Mungkin justru kau yang berada di posisi mengalah karena tak bisa minum kopi untuk tetap berada di sampingku. Pertanyaan ‘sampai berapa lama?’ selalu menggantung antara kau dan aku.
Tiga tahun. Itu jawabannya. Bahwa tiga tahun adalah lamanya pertanyaan itu tergantung. Bahwa kaulah yang melepaskan gantungannya. Menggantinya dengan jawaban angka tiga yang berdiri tegak tak tergoyahkan. Yang sekaligus memberi sekat dan memberiku ruang untuk melihatmu nyaman. Akhirnya aku bisa memberimu kenyamanan itu. Setelah tiga tahun lamanya, akhirnya kau mampu dengan nyaman menampakkan ketidaknyamanmu. Dua bulat tak utuh pada angka tiga yang kau jadikan jawaban itu juga menampakkan dirimu nyaman menikmati ngopi bersama dia yang bukan aku. Kenyamanan yang sempat kau artikan saat bersamaku untuk menyembunyikan ketidaknyamanan yang begitu tampak.
Aku tak bisa menghancurkan angka tiga yang kau beri. Setelah menghancurkan angka tiga, aku hanya bisa kembali menggantungkan tanya. Dan memang tak akan adil bagimu untuk kembali pada tanya setelah kau berhasil menemukan jawab. Sudahlah, ku simpan saja tanya itu untuk diriku sendiri. Sembari menyimpan tanya, ku harap tanya itu hilang dengan sendirinya karena termakan bosan.
Rupanya, tanya itu tak hilang termakan bosan. Kesalahanku memang, yang menyimpannya di dalam kotak kaca keabadian. Aku lupa bahwa kotak ini mampu menghalau bosan. Setelah dua tahun lamanya, baru ku sadari tanya itu masih ada. ‘Sampai berapa lama?’. “Sampai berapa lama menyimpan tanya?” lanjutku dalam hati. “Dua!” jawabku sedetik kemudian. Ku keluarkan tanya itu. Ku gantikan dengan meletakkan angka dua di dalam kotak kaca keabadian. Ku biarkan angin yang sedang kencang-kencangnya itu menerbangkan sang tanya. Sudah. Aku sudah lepas dari tanya. Sudah pula ku simpan jawab dalam kotak kaca keabadian. Tak lagi aku diganggu oleh tanya tak berujung jawab itu.
Aku tertidur. Sangat pulas. Dan aku bermimpi. Kau. Kaulah yang hadir dalam mimpi itu. Kau yang hadir dengan membawa tanya itu kembali. “Bagaimana bisa?” tanyaku dalam mimpi. Aku sudah menerbangkannya bersama angin yang sangat kencang. Saking kencangnya, mampu menghancurkan tanya itu sendiri.
Aku bergegas bangun. Anehnya, bukan terbangun di kamar tidurku. Aku justru terbangun di dalam kedai kopi, bersamamu lagi. Ah, rupanya aku belum benar-benar bangun. Ku pejamkan lagi mataku untuk kembali ke kamar tidurku. Tangan besar itu menangkup telapak tangan kiriku. “Dunia nyata ada di sini. Bukan di kamar tidurmu,” katamu masih dengan suara yang sama seperti beberapa tahun lalu.
“Tanya yang kau terbangkan bersama angin kencang itu masuk ke kamarku,” lanjutnya kemudian. “Kau salah kalau mengira kencangnya angin itu akan menghancurkan tanya. Angin itu berhembus kencang untuk membuatnya sampai padaku dengan cepat. Agar aku bisa mengembalikannya padamu sebelum kau tutup kotak kaca keabadian yang menyimpan jawaban baru itu.”
“Kau terlambat. Aku sudah mengunci kotak kaca keabadian yang menyimpan jawab itu. Kuncinya tlah ku buang entah kemana.”
“Kau terlalu lama bimbang akan menguncinya atau tidak. Semakin kau pikirkan, semakin membuatmu lelah dan membawanya ke dalam mimpi. Kau menguncinya di dalam mimpi. Kenyataannya, kotak kaca keabadian yang menyimpan jawab itu masih terbuka lebar. Dan aku telah menggantinya dengan tanya ini, tanya yang kau terbangkan ke kamarku.”
“Jangan terlalu percaya diri. Aku tidak menerbangkannya kepadamu. Aku membiarkan angin menghancurkannya.”
“Nyatanya, aku mengembalikan tanya itu.” Disodorkannya kotak kaca keabadian yang tadinya menyimpan jawab. Angka dua yang pernah ku letakkan di dalamnya sudah tak ada lagi. Kotak kaca keabadian yang ia sodorkan menampilkan tanya yang sama. ‘Sampai berapa lama?’. Sialan benar makhluk ini. Lancang sekali membuang jawabanku seenak hati.
“Siapa yang mengizinkanmu mengembalikan tanya itu?” tanyaku ketus.
“Kau.”
“Aku?” Aku mendengus dan menggigit bibir bawahku kesal. “Begini, ya. Ku jelaskan padamu. Aku ini sudah membuangnya. Berada di sini adalah sebuah kesalahan. Aku bahkan tak sadar bisa berjalan ke sini. Dan ku tekankan sekali lagi, aku masih tidak bisa menemanimu ngopi. Pergilah dengan rekan ngopimu itu!”
“Boleh saja kau katakan bahwa kau tak bisa minum kopi. Tapi aku tahu kau selalu pergi ke sini untuk minum kopi. Ku perhatikan betapa kau mencoba untuk bisa menghabiskan segelas utuh. Kau tetap tak bisa tapi kau selalu mencoba. Hingga akhirnya kau nikmati ketidakbisaanmu. Dan justru itu yang membuatmu bisa menghabiskan segelas kopi. Kau suka meski setelahnya harus tertatih untuk pulang. Aku tidak membantumu, tapi aku mengikutimu dan memastikanmu pulang dengan selamat.”
Ku raih gelas keramik putih di hadapanku. Ku teguk isinya yang ternyata tegukan terakhir. Aku tersentak menyadari rasanya. Kopi. Tegukan terakhir itu adalah kopi. Artinya, aku baru saja menghabiskan segelas kopi. Jadi, benarkah yang ia katakan barusan? Bahwa aku tak bisa minum kopi tapi tetap berhasil menghabiskan segelas tanpa sisa. Kepalaku mulai pusing. Entah karena memikirkannya atau karena efek kafein dari kopi yang barusan ku habisi.
“Itu bukti nyata dari apa yang ku katakan. Ngomong-ngomong, rekan ngopi mana yang kau maksud tadi?”
“Yang kau hadirkan bersama angka tiga sebagai jawab.” Ku pijat pelipisku untuk mengurangi pusing. Terlebih karena ia justru mempertanyakan bagaimana aku bisa mengetahuinya. “Terlihat jelas melalui celah di angka tiga itu sendiri.”
Kepalaku begitu pusing setelah itu. Entah apa yang selanjutnya kau katakan. Samar-samar ku ingat bahwa kau menemukan teman ngopi yang asik di suatu tempat. Di tempat itulah kalian ngopi setiap hari sambil melepas lelah sepulang kerja. Kau merasakan sensasi ngopi yang sebenar-benarnya dengan orang itu. Aku tak begitu yakin dengan ingatanku yang samar-samar ini. Yang ku ingat, setelah kebersamaan kalian berjalan kurang lebih setahun, kemudian kau menyesalkan bahwa tempat ngopi kalian tiba-tiba tutup. Rekan ngopimu mengaku tak bisa ngopi selain di tempat itu. Saat memilih tempat ngopi baru, rasanya sudah berbeda. Dan kalian memutuskan mengakhiri aktivitas ngopi bersama itu.
Pantas saja kau bersedia mengembalikan tanya itu padaku. Rupanya kau kehilangan teman ngopimu. “Jika kau kembali untuk mengajakku ngopi bersama, kau harus bersedia mengantarku pulang karena kepalaku pasti tak sehat setelahnya.” Bagian ini aku ingat betul. Aku mengatakannya persis demikian. “Kau mungkin akan lelah melakukannya. Dan aku tidak tahu pasti akan sampai kapan. Yang pasti, tak akan kurang dari setahun. Kau boleh mundur bila kau rasa tak bisa menunggu.”
Setelahnya, aku tak ingat apa-apa lagi. Entah ia memang tak menjawab atau aku yang tak bisa mengingatnya, aku tak tahu pasti. Saat ku lihat kotak kaca keabadian di samping tempat tidurku, kotak itu masih terbuka dan menyimpan tanya yang sama.
‘Sampai berapa lama?’