Photo by John Wiesenfeld on Unsplash
Februari, Sebuah Permulaan – hari kesebelas
Aku memandang kebun anggrek di depan rumah melalui jendela kamar. Tak ada lagi anggrek yang dirawat Ayah. Mereka mati satu per satu setelah Ayah meninggal, seakan merasakan kedukaan sebagaimana kami. Anggrek bulan di dekat kamarku yang paling lama bertahan. Warnanya yang paling cantik di antara semuanya, dengan kuning yang hangat sebagai dasar dan ungu kemerahan yang menggurat kebahagiaan sekaligus keanggunan. Saat kukatakan itu, Ayah meletakkannya di dekat kamarku. Katanya, ia berpendar di malam hari. Memang benar, ia berpendar di malam hari, mengalahkan pendar bulan di atas sana. Pendarnya semakin nyata setelah Ayah pergi. Setiap malam, ia yang paling bersinar. Aku seperti melihat mata Ayah berpendar di dalamnya. Pendar yang menghangatkan dan membuatku tertidur nyenyak.
Tadi pagi, ia baru saja mati. Anggrek Ayah terakhir. Aku dan Ibu membersihkan kebun itu. Sepakat mengosongkannya untuk sementara waktu. Mungkin Ayah akan hadir dalam bentuk lain. Bukan lagi pada anggrek yang dirawatnya.
“Ayah, kenapa anggrek? Kenapa bukan mawar atau lily?” tanyaku kala itu, pada Ayah yang sedang memberi pupuk cair pada anggrek-anggreknya.
“Cantiknya tidak membosankan.”
“Tapi, lama sekali melihatnya mekar, Yah.”
“Di situlah yang menarik. Kita harus telaten merawatnya dan menunggu waktu yang cukup lama untuk melihatnya mekar. Kecantikannya menawan karena sebuah penantian. Ia punya cara sendiri untuk dapat mekar.”
Ayah mengajariku cara merawat anggrek. Aku diberi satu pot anggrek yang belum mekar. Belum sampai sebulan, ia sudah mati. Padahal aku mengikuti setiap petuah yang Ayah katakan.
“Ia mampu menilai, pemilik mana yang bersungguh-sungguh, dan pemilik mana yang hanya ingin merenggut kecantikannya.”
Aku meringis kala itu. Aku memang sangat ingin melihat anggrek itu mekar, tapi aku tidak sesabar Ayah. Aku memperlakukan anggrek sebagai objek yang akan mengobati kehausanku akan keindahan. Sedang Ayah menikmati pancaran yang menguar dari setiap helai daun, dari bau tanah yang tenang, dan dari batangnya yang meliuk indah. Ayah memperlakukan Anggrek layaknya entitas hidup yang berproses dan mengagungkan keberadaban.
Kebun anggrek Ayah sudah bersih.
“Bu, aku ingin mendaftar kelas menanam anggrek,” ucapku pada Ibu, yang tersenyum memelukku.
Kelak, aku akan menghidupkan kembali kebun anggrek Ayah dengan keindahan yang mampu hidup abadi dan melingkupi kedamaian.
==
Tulisan lainnya dalam kompilasi bertajuk “Februari, Sebuah Permulaan”
Latar belakang : Februari, Sebuah Permulaan
Hari pertama : Mendamba Motivasi
Hari kedua : Loncatan Spiritual Seekor Katak
Hari ketiga : Eksklusivisme Agama dan Pemikiran
Hari keempat : Meniadakan Kehilangan
Hari kelima : Sepragmatis Orang-orang Tua
Hari keenam : Keluarga yang Tak Sempurna
Hari ketujuh : Orang yang Berharga
Hari kedelapan : Berkontribusi
Hari kesembilan : Terdera Kebermanfaatan
Hari kesepuluh : Redup dan Padam