Photo by National Cancer Institute on Unsplash
Terbanglah bersama angin, menuju ruang tanpa cahaya.
Suara itu menggema dalam kepalanya, mengantarkan simpul yang menggerakkan kelopak matanya untuk membuka dengan tiba-tiba.
Oksa POV
Suara itu datang lagi untuk yang ke sekian kalinya dan membuatku terbangun pada jam 3 pagi.
Belakangan, aku sering kedatangan suara-suara aneh di sela tidur. Entah mimpi atau bukan, suara itu seperti ingin melenyapkanku dari kehidupan.
Aku meraih ponsel yang entah sejak kapan berada di bawah tubuhku. Aku tidak kaget karena ini sangat sering terjadi.
Di saat seperti ini, simpul di dalam diriku akan merangsang untuk menghubungi Mia.
“Halo, Mia… Suara itu datang lagi… Aku nggak tahu kenapa. Tapi suara itu semakin sering datang, terutama di setiap mimpi indah… Stop it, Mia! I’m not a sinner. I’m just living my life like anybody else… Oh, shit! Shut up! Hang up the phone now.”
Mia selalu punya alasan di setiap kata dan gerak yang ia mulai. Meski tak pernah berakhir baik, bawah sadarku selalu mendorong untuk mengatakan semua yang terjadi kepada Mia. Saat aku bercerita tentang suara itu untuk pertama kalinya, Mia berkata, “Itu harga yang harus kamu bayar untuk setiap tindakan, bahkan saat kamu memutuskan untuk diam.”
Aku tak pernah suka jawaban Mia yang selalu terkesan menggurui itu. Tapi, pada akhirnya aku akan selalu menemukan diriku mengiyakan setiap kata yang dilontarkan Mia. Barangkali, saat kami masih bergulat di dalam perut Ibu, gadis itu sempat menyusupkan sesuatu di dalam tubuhku.
Drrtt…
Satu pesan dari Mia.
Let your nerves work! Stop doing nothing or just die!
Sejak tinggal di Sheffield beberapa tahun lalu, ia seakan lupa bahasa Indonesia. Seberapa panjang pun aku berbicara menggunakan bahasa Indonesia, ia akan selalu menjawab dengan bahasa Inggris, dan aku selalu merasa ia telah merendahkanku.
Sepuluh tahun lalu, kami berdua lulus dengan nilai yang sangat memuaskan. Selesai dengan dunia putih abu-abu, kami berdua sepakat untuk memberi jeda dan menikmati satu tahun di rumah. Seperti yang telah kukatakan, Mia selalu punya alasan. Ia berencana untuk kuliah di Inggris dan memanfaatkan waktu satu tahun itu untuk mempersiapkan diri. Tak seperti Mia, aku menunda dengan alasan yang tidak bisa kupastikan. Aku ingin seperti Mia, tapi aku tidak begitu yakin.
“Ayolah, temani aku. Rasanya aku nggak yakin bisa lulus kalau nggak ada kamu,” kata Mia, di depan layar monitor yang menampilkan formulir pendaftaran.
“Aku mau menemani Ibu saja di sini.”
Jawaban itu benar-benar tak pernah terpikir. Tiba-tiba saja meluncur, dan aku meyakinkan Mia bahwa ia akan lulus. Algoritma dunia yang canggih ini selalu memberi pilihan terbaik untuk Mia, yang selalu membiarkan simpul kepalanya bergerak cepat.
Dugaanku benar. Ia lulus dan terbang ke Inggris.
Sementara ia pergi, aku masuk perguruan tinggi dalam negeri. Tuhan memberkahiku kepala yang tidak bodoh, sehingga aku bisa memilih perguruan tinggi mana pun. Bukannya memilih yang ‘katanya’ terbaik, aku justru memilih kampus medioker dengan jurusan yang tak kalah biasa.
Aku lulus sebagai lulusan terbaik dan menerima ucapan selamat dari hampir semua orang yang mengenalku. Ironisnya, aku tak tahu, kemana arah langkahku setelah ini.
Berjalan dalam hampa, aku masuk dengan sangat mudah di sebuah perusahaan yang cukup bergengsi di pusat kota. Seperti yang lain, kujalani hari dengan biasa-biasa saja. Masuk jam 9 pagi, istirahat saat matahari sedang tinggi-tingginya, dan pulang saat matahari mulai hilang.
Pernah sekali waktu, Mia menasehatiku, “Don’t you have something to urge you move? In this modern world, life is so boring to live like you did.”
Aku dan Mia lahir di sebuah dunia yang dinilai modern dan hidup bersama gerombolan manusia yang berbondong-bondong memikul teknologi. Mia menjadi bagian dari gerombolan manusia itu. Ia, bersama yang lainnya berlari cepat mengikuti perubahan. Menginjak rumput hijau yang bagi mereka kurang hijau. Rumput itu harus diubah menjadi lebih hijau, agar mata manusia hanya disajikan hijau-hijau yang terbaik.
Semua ini terjadi berkat akal manusia yang tak pernah ada habisnya dalam mengolah muatan di dalamnya. Simpul-simpul bersentuhan, menimbulkan secercah cahaya kilat yang menanti untuk ditangkap. Orang-orang seperti Mia menangkap setiap cahaya dan mengumpulkannya dalam sebuah ruang yang menghalau kegelapan. Segala yang gelap harus ditumpas dan dicerahkan. Hanya cahaya terbaik yang harus disajikan kepada manusia. Dari manusia oleh manusia dan untuk manusia.
Menjadi biasa-biasa saja seperti aku adalah sebuah dosa besar. Setidaknya, kesimpulan itu yang bisa kutarik dari setiap ceramah Mia. Meski aku mengaku senang dengan caraku menjalani hidup di tengah manusia yang ‘katanya’ modern, aku selalu berpikir dunia ini tak membutuhkan aku.
Dunia ini membutuhkan orang-orang seperti Mia dan orang-orang seperti aku tak selayaknya mengganggu jalan mereka untuk mengubah dunia.