Photo by Ashmit Gautam on Unsplash

 

Malam itu, aku ketiduran. Antara lelah mendengar kemelut di dalam diriku atau lelah karena jiwaku kalah dimakan warna di Persimpangan Pelangi. Suara kucing berkelahi membangunkanku. Kucing Hitam dan Kucing Oranye yang kulihat saat perjalanan kemari. Si Oranye yang punya luka di kepala meraung ke arah Si Hitam. Si Hitam hanya diam saja. Sesekali ia melihat ke arahku dan aku membelalak bingung. Apa? Kenapa melihatku? Ada dua kemungkinan. Satu, dia minta maaf telah mengganggu tidurku. Dua, dia minta pertolongan. Kemungkinan pertama: Baiklah, kumaafkan, aku juga tak ingin bermalam di sini. Kemungkinan kedua: Maaf, aku tak ada niatan untuk membantu sama sekali. Aku ingin pulang. Si Oranye kembali meraung dan kali ini sambil mencoba menerkam Si Hitam. Untungnya, Si Hitam mampu mengelak. Aku tak tahu kenapa pula harus kusematkan kata ‘untungnya’ di awal kalimat. Entahlah. Si Hitam mundur selangkah demi selangkah, semakin dekat ke arahku. Jaraknya denganku saat ini hanya sekitar lima kotak guiding block berwarna kuning di trotoar yang biasa digunakan sebagai petunjuk bagi tunanetra. Menyeranglah balik! Ingin sekali kulontarkan kalimat itu untuk Si Hitam. Tapi tertahan, seolah berharap Si Hitam bisa mendengar suara batinku. Melihat dirinya yang semakin mundur hingga menyisakan jarak satu kotak jalur kuning dengan tempatku duduk, aku yakin dia tak bisa mendengar suara batinku. Tentu saja. Kucing mana pula yang mampu mendengar suara batin manusia? Suara yang dilontarkan saja belum tentu mereka pahami, apalagi yang hanya tertahan dan tak terucap.

Aku melirik jam tanganku yang menunjukkan pukul 12 lewat lima belas menit. Astaga, tak pernah aku berada di persimpangan sampai selarut ini. Jalanan belum juga lengang dan aku baru sadar ini Sabtu malam. Pantas saja persimpangan ini tak kunjung sepi. Dari sekian banyak manusia yang ada di persimpangan ini, tak ada satu pun yang terganggu oleh raungan Si Oranye. Rasanya tidak mungkin mereka tidak terganggu atau setidaknya merasa penasaran dengan suara yang sangat memekakkan telinga itu. Mungkin karena aku satu-satunya manusia yang tidur di bangku trotoar dan itu sebabnya hanya aku yang terusik.  Kutengok lagi Si Hitam yang masih belum beranjak dari titik terakhirnya. Telinganya berdiri tegak mendengar raungan Si Oranye. Matanya waspada, menakar pada menit ke berapa kiranya lawan akan menyerang. Pukul 12 lewat dua puluh. Aku mendengus kesal. Ku harap Ibu belum mengunci pintu rumah. Aku tidak mau tidur di luar, udara malam ini dingin sekali.

Tepat sebelum aku berhasil berdiri, Si Oranye menyerang lagi dan Si Hitam melompat ke pangkuanku. Saking terkejutnya, tubuhku spontan mundur sampai punggungku membentur sandaran kursi yang keras. Si Oranye masih mengerang, kali ini sembari mendongak. Entah mengerang pada Si Hitam atau kepadaku. Bisa saja dia menyuruhku menurunkan Si Oranye karena tidak mau menyerang dan tidak ingin berurusan dengan manusia. Tanganku meraih gelas air mineral yang entah sejak kapan berada di pojok kursi. Masih berisi air setengah gelas dan kusiram tepat ke kepala Si Oranye, mengenai lukanya yang kuduga belum kering. Si Oranye memicingkan matanya. Ya, benar-benar memicingkan mata. Baru kali ini aku melihat seekor kucing memicingkan mata, selayaknya manusia yang diliputi dendam sepanjang hidupnya. Aku menggigit bibir bawahku, khawatir Si Oranye akan menyerangku untuk membalas dendam. Entah balas dendam atas kesalahanku yang mana: memberi perlindungan pada Si Hitam atau menyiram tepat pada lukanya. Mungkin keduanya

Aku menggerakkan pahaku, menyuruh Si Hitam turun dari pangkuan. Tidak ada perlawanan. Si Hitam langsung menyingkir. Di detik yang sama saat aku berdiri, Si Oranye berbalik dan pergi. Aku menghela nafas lega. Tadinya, aku berniat lari secepat kilat sebelum lampu berubah hijau. Dalam sepuluh detik, lampu lalu lintas akan berubah hijau. Artinya, aku punya sepuluh detik untuk lari menyeberang dan membiarkan Si Oranye melanjutkan dendamnya pada Si Hitam. Itu pun jika lariku bisa lebih cepat darinya. Aku sendiri tak pernah lari lebih dari seratus meter. Syukurlah, Si Oranye pergi sebelum aku buang-buang energi melakukannya. Tapi, aku tetap menyeberang di lima detik terakhir sebelum hijau dan membuang tenagaku sendiri karena aku harus segera pulang.

Rupanya Si Hitam mengikutiku sampai rumah. Ia mengeong saat aku hendak menutup pintu. “Apa? Kau ingin aku menampungmu? Kau takut dikejar Si Oranye?” tanyaku sambil melongokkan kepala. Dia mengeong dan aku tak tahu apa maksudnya. Mungkin semacam mengiyakan. Aku menggeleng. “Kau tak boleh masuk. Ibuku tak suka kucing. Kau bisa mati kena pukulannya yang luar biasa sadis.” Sebelum menutup pintu, aku menambahkan ucapan selamat malam pada Si Hitam. Ia masih mendongak dan mengerjap pasrah.