Gambar oleh Pamela L dari Pixabay
Agustus, Memaknai Merdeka (8)
Di ruangan yang gelap ini, aku terus-menerus menjadi seorang idiot. Menjadi makhluk yang teronggok tak tahu apa-apa. Menunggu dan menunggu. Sesekali menangkap apa-apa yang yang mampu tertangkap indera. Menunggu memang bukan perkara mudah, tapi cukup menyenangkan untuk dilakukan seorang idiot sepertiku. Kata Kafka, kamu mengidiotkan sesuatu yang sebenarnya nggak diidiotkan. Ribet!
Klunting…
Dari: Kafka
Dimana?
Belum sampai aku mengetik jawaban, ia menelepon.
“Kenapa?” tanyaku, tanpa basa basi. Tak pernah ada kata basa basi dengan anak satu ini.
Terdengar kekehan tawanya di seberang sana, lalu berkata, “Jawab dulu dong pertanyaanku tadi.”
“Di kamar,” jawabku. “Kenapa?”
“Masih urusan yang kemarin?”
Aku hanya berdeham mengiyakan dan kembali terdengar kekehan yang lebih renyah. Kurang ajar memang anak ini.
“Makan aja yuk! Aku di tempat biasa,” katanya kemudian, dan kemudian hilang.
“Makan yuk! Aku di tempat biasa,” ucapku pada layar ponsel, menirukan suara Kafka dengan sewot.
—
Aku memasuki ‘tempat biasa’ yang dikatakan Kafka. Barista berteriak menyapakan selamat datang, dengan gaya yang sangat kasual karena kami sudah saling kenal. Felis, salah seorang barista, mengarahkan matanya ke sudut ruangan. Kafka tengah bertengger melambaikan tangan, di ujung barisan kursi yang berjejer rapi tanpa penghuni. Di ruangan ini, hanya ada Kafka dan seorang wanita bersetelan jas semi-formal yang sedang asyik mengobrolkan entah apa. Aku membalas lambaian dengan senyum yang sedikit dipaksakan dan mendekat.
“Kenalin, nih. Ini Sintia, account executive dari agensi periklanan yang aku ceritakan kemarin,” ujar Kafka, memperkenalkan wanita yang duduk di sebelahnya.
Kafka memang pernah bercerita tentang temannya di agensi periklanan yang sedang mencari seorang copywriter. Kala itu, aku tidak tertarik. Aku memang suka merangkai kata, tapi aku benar-benar payah dalam menulis skrip iklan. Kafka sudah tahu kepayahanku itu dan kuharap dia sudah menyampaikan itu kepada wanita bernama Sintia ini.
Tapi, berhubung aku seringkali tidak yakin dengan Kafka atas beberapa hal, aku akan memastikannya sendiri.
“Maaf, mbak. Tanpa mengurangi rasa hormat. Saya tidak pandai mengolah skrip persuasif, mbak. Sepertinya saya kurang cocok untuk menjadi copywriter di agensi mbak. Saya harap Kafka sudah cerita tentang hal itu.”
“Kafka sudah cerita kok,” jawabnya. “Saya sudah lihat beberapa tulisan kamu dan saya rasa tidak terlalu buruk. Mungkin hanya perlu dilatih saja. Kalau mau, kamu bisa magang dulu saja beberapa bulan. Kalau memang cocok, kita lanjutkan. Kalau tidak cocok, kita pertimbangkan ulang.”
Aku masih belum menjawab dan kembali menjadi idiot. Sepertinya menjadi idiot adalah sebuah kebiasaan di hidupku. Saat otakku seketika dipaksa bekerja tanpa aba-aba, ia menonaktifkan seluruh jaringan dalam sana. Milyaran sel sepakat untuk mogok, menyisakan beberapa yang menimbulkan gerakan-gerakan tidak diperlukan seperti menggerakkan bibir, jari, kelopak mata, sampai kaki. Yang paling parah, aku pernah menjedotkan kepalaku ke tembok. Beruntungnya, kala itu tembok dilapisi busa yang cukup tebal untuk menahan pendarahan yang menyebabkan otakku semakin tidak waras.
“Woi!” tegur Kafka, mengaktifkan kembali milyaran sel yang sempat mogok kerja.
“Maaf ya, mbak. Emang suka kumat gini anaknya. Agak laen emang,” kata Kafka kepada Sintia, yang menanggapinya dengan tertawa.
“Nggak harus dijawab sekarang juga kok. Kamu bisa pikirkan dulu sampai akhir pekan,” ucap wanita itu.
Kemudian, Sintia pamit dan tersisa kami berdua: aku dan Kafka. Setelah memastikan wanitu itu hilang dan tak terjangkau pandangan, aku mengomeli Kafka yang tidak memberikan aba-aba terlebih dahulu.
“Gue kan nggak siap jawabannya,” protesku.
“Kan dia juga nggak minta lo nyiapin jawaban sekarang,” bantahnya. “Yaudah sih, dipikir dulu aja. Masalah gaji, ntar gue infoin. Pokoknya cukuplah buat hidup lo yang gitu-gitu aja. Bisa foya-foya dikitlah.”
“Dapat asuransi buat operasi otak nggak sih?”
“Lo kebanyakan bengong!”
“Tapi, gue nggak suka bikin kalimat komersial gitu. Kalau makin bengong terus malah cengoh di kantor gimana?”
“Itu otak lo kebanyakan dipaksa buat nunggu inspirasi, Ta. Makanya dipakai buat kerja. Seenggaknya ada tuntutan gitu lho. Nggak cuma nunggu doang.”
“Emang iya ya?”
“Pikir aja sendiri.”