Tokoh perempuan sentral dalam buku ini bernama Firdaus. Ia hidup dalam dunia yang menjanjikan pelacuran sebagai sumber penghidupannya, bahkan menjadi jalan hidupnya. Membaca Firdaus mengingatkan saya pada si Cantik dalam Cantik Itu Luka milik Eka Kurniawan. Masih ingat ramainya dunia per-twitter-an kala seorang pengguna twitter memaki Eka Kurniawan karena mengutip secuil kalimat dari bukunya?

Semua perempuan itu pelacur, sebab seorang istri baik-baik pun menjual kemaluannya demi mas kawin dan uang belanja, atau cinta jika itu ada. – Eka Kurniawan

Nampaknya, hal ini agak serupa dengan pikiran Firdaus yang diawali dengan kalimat seorang pelcur yang sukses lebih baik daripada seorang suci yang sesat. Saya tak paham, seorang suci yang sesat yang dimaksudkan di sini yang seperti apa. Tapi, kalimat tersebut dipertegas dengan demikian

Semua perempuan adalah korban penipuan. Lelaki memaksakan penipuan pada perempuan, dan kemudian menghukum mereka karena telah tertipu, menindas mereka ke tingkat terbawah, dan menghukum mereka karena telah jatuh begitu rendah, mengikat mereka dalam perkawinan dan menghukum mereka dengan kerja kasar seumur hidup, atau menghantam mereka dengan penghinaan, atau dengan pukulan. – Nawal el Saadawi

Saya tak bermaksud membandingkan keduanya. Menurut saya, dua hal tersebut saling beririsan. Hanya saja, mungkin penyajiannya agak berbeda karena ditulis dari sudut pandang yang berbeda pula. Meski keduanya sama-sama memposisikan diri dalam tokoh perempuan, tetap saja faktor Eka Kurniawan sebagai penulis lelaki tak bisa dielakkan. Nawal el Saadawi secara terang-terang memusatkan kalimatnya pada sebab dari ketidakberdayaan perempuan yang menjadi korban atas lelaki, sedangkan Eka Kurniawan fokus pada akibat dari ketidakberdayaan itu. Keduanya memiliki konteks dan latar waktunya sendiri. Sehingga, tak masalah bagi saya. Bisa menambah wawasan akan konteks dari peristiwa yang sama, bukan?

Sebagai perempuan, saya marah pada kehidupan yang membuat Firdaus menukas sepedas dan setajam itu. Tapi, memang demikianlah yang dirasakan Firdaus. Ia dikelilingi para lelaki yang memperlakukan perempuan tak lebih dari budak seks. Ibunya yang selalu harus mendahulukan ayahnya di atas siapa pun. Pamannya, yang mencuri waktu menyentuh bagian tubuhnya di sela kegiatan membaca. Suaminya, si tua pelit yang memperlakukannya dengan buruk. Begitu pula dengan banyak lelaki yang ditemuinya, yang siap menikamnya kapan pun birahi mereka memuncak.

Teriris hati saya mengikuti perjalanan Firdaus yang begitu malang. Ia, -seperti banyak perempuan pada masa itu, pada perempat akhir abad 20 di Mesir-, tak punya pilihan karena tak ada yang memberinya pilihan. Satu-satunya pilihan yang ada adalah perempuan melayani lelaki seumur hidupnya. Kelamnya hidup yang dijalani Firdaus membuatnya menjadi perempuan tangguh, kuat, dan teguh pada prinsip. Ia yang memilih siapa dan berapa. Bahkan ia yang memilih untuk ‘tidak merasa apa-apa’ kala melakukan pekerjaannya.

Suatu ketika, ia masuk penjara atas tuduhan pembunuhan dan terancam hukuman mati. Tuduhan tersebut diajukan oleh seorang lelaki yang memiliki kuasa di negeri itu. Polisi yang juga bagian dari kalangan lelaki, menurut pikiran Firdaus, menuruti tuduhan itu juga karena terancam. Kuasanya atas perempuan seakan terinjak-injak bila membiarkan Firdaus hidup. Oleh sebab itu, Firdaus harus dihukum mati, sehingga mereka bisa tetap hidup.

Seorang dokter penjara (lelaki) pernah membuatkan permohonan kepada Presiden agar hukumannya diubah menjadi hukuman kurungan seumur hidup. Tapi ia menolak menandatangani permohonan itu. Ia memilih untuk diam, tidak menolak hukuman, dan tak mau dikunjungi siapa pun. Ia sendiri yang memilih untuk tetap dihukum mati. Saya suka sekali dengan kalimat ini

Setiap orang harus mati. Saya lebih suka mati karena kejahatan yang saya lakukan daripada mati untuk salah satu kejahatan yang kau lakukan – Nawal el Saadawi

Kalimat itu ia lontarkan pada polisi, atau mungkin penjaga penjara, yang mengolok-oloknya sebagai pembunuh yang akan dihukum mati. Setiap kalimat dari pemikiran Firdaus dalam buku ini sangat tajam dan berkali-kali menghujam. Penulis dengan apik merangkai satu per satu peristiwa hidup Firdaus. Setiap detail kalimat dan peristiwa mengandung sesuatu yang penting dan tak mudah dilupakan. Disajikan secara runut, masuk akal, dan tak mudah ditebak.