Beberapa bulan belakangan, kita dihebohkan dengan ajakan memboikot produk-produk yang berkaitan dengan Israel dan Amerika Serikat lantaran konflik antara Israel dan Palestina. Bahkan, sempat muncul berita hoaks mengenai MUI yang telah merilis fatwa untuk memboikot merek produk tertentu. Pada 16 November 2023, Kemkominfo menyatakan secara resmi melalui laman resminya bahwa berita tersebut merupakan hoaks. Selain itu, terjadi berbagai ajakan aksi solidaritas berupa pengumpulan massa di berbagai titik. Meskipun aksi solidaritas tersebut hadir dari berbagai kelompok masyarakat, saya menemukan bahwa aksi solidaritas ini juga banyak berasal dari organisasi keagamaan. Bahkan di internet dan media sosial banyak berseliweran ajakan solidaritas (aksi maupun boikot) yang dikaitkan dengan agama tertentu. Nah, dari sini saya melihat adanya polarisasi agama yang muncul dari konflik Israel-Palestina. Polarisasi yang seperti ini membuat saya sedikit enggan untuk mengikuti arus perboikotan karena saya terlalu malas untuk memilah informasi mana yang harus saya ikuti.

Apakah konflik Israel-Palestina terjadi karena agama?

Semakin saya enggan, informasi mengenai konflik kedua negara tersebut terus berseliweran di sekitar saya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Saya pun iseng mencari buku tentang Palestina di Perpustakaan Jakarta melalui Jaklitera dan saya menemukan buku berjudul Generation Palestine: Voices from the boycott, divestment and sanctions movement. Saya pun langsung melakukan peminjaman buku melalui Jaklitera. Beberapa jam kemudian, saya menerima notifikasi bahwa buku saya sudah siap diambil. Ternyata pinjam buku di Jaklitera semudah dan secepat itu. Sayangnya sih buku yang dipinjam melalui Jaklitera harus tetap diambil secara langsung di perpustakaan sesuai lokasi yang dipilih. Tapi setidaknya ini mempersingkat waktu dan tenaga untuk berkeliling mencari buku ya.

Setelah 2-3 minggu membaca buku tersebut, saya menyimpulkan bahwa perboikotan atau BDS yang terjadi karena konflik Israel-Palestina tidak terjadi semata-mata karena agama.

 

Sejarah BDS

Sejak awal abad 20, Afrika Selatan telah mempraktikkan pemisahan ras berdasarkan warna kulit dimana masyarakat kulit putih memiliki kedudukan lebih tinggi daripada kulit hitam. Nah, penerapan sistem apartheid ini kemudian melahirkan African National Congress (ANC) yang dipimpin oleh Nelson Mandela. Kelompok inilah yang menyerukan ajakan untuk melakukan BDS terhadap produk-produk yang berkaitan dengan ras kulit putih di Afrika Selatan. Aksi BDS ini berhasil membuat warga dunia menolak membeli kentang yang dihasilkan dari perbudakan ras kulit putih terhadap kulit hitam. Selain itu, klub rugby Afrika Selatan yang didominasi ras kulit putih ditolak untuk berkompetisi di kancah internasional. Berbagai hal lain juga turut diboikot, seperti bank dan persenjataan.

Palestina mengalami kondisi yang serupa dengan Afrika Selatan. Tindakan Israel yang berusaha memberantas warga asli Palestina dinilai sebagai praktik apartheid. Untuk itu, pemerintah Palestina secara resmi menyerukan ajakan terbuka bagi warga dunia untuk melakukan BDS terhadap produk yang yang berasal dari Israel. Segala transaksi produk atau jasa  yang berasal dari Israel disebut turut andil dalam melancarkan praktik apartheid Israel terhadap warga Palestina.

 

Penyajian substansi

Setelah disajikan konteks sejarah aksi BDS terhadap produk Israel, buku ini menyajikan berbagai perspektif yang ditulis oleh berbagai kalangan dalam menyikapi seruan kemanusiaan tersebut. Tidak ada satu nama pun yang saya kenal, tapi editor telah menyajikan profil singkat masing-masing kontributor. Jadi, pembaca awam seperti saya dapat lebih mudah mengetahui konteks peran dari masing-masing kontributor. Para kontributor tersebut berasal dari kalangan praktisi hukum dan HAM, akademisi, aktivis, seniman, serikat pekerja, hingga kaum Yahudi itu sendiri. Dari berbagai kalangan tersebut, buku ini memberikan gambaran yang cukup luas mengenai bagaimana warga dunia menyikapi ajakan BDS yang diserukan resmi oleh pemerintah Palestina. Baik dari sudut pandang ekonomi, hukum, kemanusiaan, budaya, sampai akademik, mendukung gerakan tersebut. Para penulis juga tidak segan menyebutkan berbagai merek produk yang dinilai terafiliasi dengan Israel.

BDS dinilai sebagai gerakan yang diperlukan untuk mengurangi harga yang harus dibayar Palestina dalam memperjuangkan kemerdekaannya. Gerakan ini harus terus dilakukan agar Israel merasakan dampak bahwa tindakan yang dilakukannya kepada Palestina membutuhkan energi dan biaya yang sangat mahal dan harus segera dihentikan.

Nah, apakah gerakan ini berhasil? Buku ini memberikan gambaran bagaimana pemerintah Israel menanggapi gerakan BDS. Bukan serta merta menghentikan. Israel justru menyerang balik dengan menyebarkan narasi bahwa Palestina bersikap antisemitis. Meskipun narasi tersebut tidak gagal, citra Israel telah buruk bagi sebagian besar warga dunia.

 

Tapi kenapa Israel terus menyerang sampai sekarang?

Nah, hal itu menjadi PR sih. Buku ini ditulis 10 tahun yang lalu. Tentunya banyak yang terjadi sejak 10 tahun yang lalu hingga sekarang bukan?

 

Pengalaman membaca (4/5)

Buku ini cukup informatif dan disajikan dengan sangat baik. Namun, karena disajikan dalam bentuk antologi, pembaca awam seperti saya jadi agak kesulitan dalam merangkai peristiwa yang terjadi. Mungkin karena ada beberapa keterangan waktu yang dimunculkan secara acak, jadi butuh daya lebih untuk mengingat atau kembali ke halaman sebelumnya. Kendala ini mungkin tidak terjadi kalau kamu sudah pernah membaca sejarah konflik Israel-Palestina secara lebih komprehensif.