Buku kecil 76 halaman ini seharusnya bisa selesai dalam sekali duduk. Tapi, selesai tanpa memahami juga sia-sia saja. Itu yang terjadi pada saya. Setelah dua kali membaca, saya merasa isi buku ini justru membebani otak saya dan saya putuskan untuk rehat beberapa minggu. Di kesempatan ketiga, saya memutuskan membacanya -dari awal- di pagi hari dengan metode yang berbeda, yaitu membaca nyaring. Teknik membaca ini biasanya saya gunakan saat membaca buku berbahasa Inggris, untuk melatih berbicara dan melafalkan kalimat berbahasa Inggris, serta memahami isinya dengan lebih jelas. Rupanya, teknik ini juga cukup membantu saya memahami isi buku ini. Kalimat di dalam buku ini cukup kompleks dan saya rasa perlu penjedaan yang tepat agar maksud dari satu kalimat ke kalimat yang lain tidak tumpang. Saat membaca -nyaring-, saya sangat memperhatikan jeda dan intonasi seolah-olah saya sedang sidang skripsi di hadapan dosen penguji. Bahkan saya berulang kali menemukan kalimat rumit yang membuat saya mengulang-ulang kalimat dengan penjedaan berbeda-beda untuk mengerti maksud dari kalimat tersebut. Baiklah, saya cukupkan intro -sekaligus curhat- yang cukup panjang untuk sebuah resensi.
Seperti yang telah muncul di paragraf awal, buku ini kecil. Tingginya hanya sekitar 18 sentimeter, dengan lebar 11 sentimeter. Isinya dikemas dalam 10 halaman romawi (4 halaman merupakan kata pengantar yang berbobot) dan 76 halaman angka dengan isi yang amat padat. Bila buku ini dibuat seperti buku pada umumnya, yaitu sekitar 21 sampai 23 sentimeter, agaknya tebal buku ini tak akan lebih dari 20 halaman. Tak heran, rupanya buku ini merupakan karya ilmiah Yulia Razmetaeva berjudul The Right to Resist and The Right of Rebellion dalam Jurnal Jurisprudence di Lithuania, yang kemudian diterjemahkan Dwi Pratomo dalam bentuk buku kecil (terserah bagaimana Anda menyebutnya, yang jelas buku ini lebih kecil dari buku normal dan lebih besar dari buku saku).
Di bagian sampul belakang, pembaca sudah diarahkan kepada pertanyaan mengenai dua topik penting yang disajikan dalam buku, yaitu: 1) dalam cara apa hak untuk melawan dapat dibenarkan?; dan 2) siapa dan mengapa yang memiliki kesempatan untuk mewujudkan hak ini?. Jawaban dari kedua pertanyaan tersebut dijelaskan secara padat, dan bagi pembaca seperti saya yang masih sangat awam mengenai hak asasi manusia, mungkin akan sedikit kewalahan. Kesimpulan yang saya dapat adalah hak ini dapat digunakan secara individu oleh siapa warga maupun kolektif oleh bangsa. Untuk dapat mewujudkannya, perlu adanya tujuan yang sah, mengenali dengan jelas mengenai apa yang dilawan dan hak-hak asasi manusia apa saja yang tidak adil dan tidak sah, serta adanya dukungan dan pengakuan baik dari dalam maupun dari luar. Dijelaskan pula contoh-contoh perlawanan di berbagai negara. Salah satunya adalah protes yang dilakukan rakyat Ukraina terhadap Presiden Viktor Yanukovych yang menolak untuk menandatangani pemulihan Konstitusi Ukraina kembali kepada konstitusi amandemen 2004. Protes ini menimbulkan bentrokan keras antara aparat keamanan dan para demonstran yang mengakibatkan beberapa orang meninggal dunia.
Saya mengutip beberapa kalimat dari buku ini (halaman 35):
“Setiap pelanggaran yang kejam dan tidak adil atas hak-hak asasi manusia oleh kesewenang-wenangan publik menyebabkan kemunculan suatu babak baru perlawanan serta dukungan yang (lebih) besar. Martabat tidak membiarkan seseorang untuk berdiam diri di hadapan pemerintah yang tidak menghargai serta tidak menganggap mereka, di hadapan penekanan-penekanan dan ketakutan, yang pada akhirnya memaparkan suatu pilihan mengenai apa yang lebih penting: kebebasan dan martabat atau nyawa? Ketika seseorang memilih kebebasan dan martabat, dia tidak hanya siap untuk melawan, tetapi juga untuk memberontak, dan kewenangan publik yang tidak adil lalu kalah dalam pertarungan.”
Selain hak untuk melawan, seperti judulnya, selanjutnya muncul istilah lain mengenai hak asasi manusia, yaitu hak untuk memberontak. Hak untuk memberontak merupakan bentuk ekstrem dari hak untuk melawan. Pemberontakan menjadi jalan akhir saat perlawanan tanpa kekerasan tidak berpengaruh dan tidak mampu membuat perubahan. Pemberontakan dapat diwujudkan dengan beberapa syarat, yaitu: 1) pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia yang besar oleh kesewenang-wenangan publik (kriteria kuantitatif); 2) pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia yang sistematis oleh kesewenang-wenangan publik (kriteria akumulatif); atau 3) pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia yang luar biasa oleh kesewenang-wenangan publik (kriteria menurut watak serius, jelas dan kejam dari pelanggaran).
Meski kecil dan tipis, buku ini disajikan dengan sangat padat dan layak untuk dibaca, dan mungkin bisa menjadi pecutan untuk kemudian tertarik dengan topik hak asasi manusia dan pelanggaran-pelanggarannya. Tentu saja tidak bisa dijadikan pedoman, sehingga perlu bacaan yang lebih banyak mengenai topik terkait. Bila Anda tertarik memulai dengan membaca buku kecil ini, saya sangsi Anda dapat menemukan buku ini di antara deretan buku best seller di toko buku mainstream. Saya sarankan mencari buku ini di toko buku alternatif. Di Yogyakarta misalnya, Anda dapat menemukan banyak sekali toko buku alternatif. Jika tidak mau pusing, beli daring saja dari distributor resmi. Saya membeli secara daring melalui berdikari.red. Selain dapat buku, saya dapat pembatas buku dan stiker. Selamat berselancar di tengah pusaran buku.