Saat memutuskan mengikuti pre-order buku ini, saya berekspektasi buku ini akan menyuguhkan kearifan budaya lokal Minangkabau. Ekspektasi saya cukup terpenuhi di awal cerita, yang mana baru kali ini saya mendapati budaya yang begitu mengagungkan perempuan. Bungo Rabiah bukan sekadar wanita yang bergantung pada lelaki dan berkutat pada urusan rumah tangga belaka. Ia adalah generasi ke tujuh Ranji Rangkayo yang berkeinginan kuat melahirkan bayi perempuan untuk meneruskan ranji. Ia tak bisa berpuas diri dengan hadirnya Karengkang Gadang, anak pertamanya, yang tidak bisa meneruskan Ranji Rangkayo. Harta pusaka dan garis keturunan hanya bisa diwariskan kepada perempuan. Lalu, ia menikah dengan Tuanku Tan Amo yang merupakan keturunan raja dan terkenal bisa memberikan benih anak perempuan. Demi melahirkan bayi perempuan, ia tak peduli harus menjadi istri kelima. Dan demi melahirkan bayi perempuan pula, ia tak peduli dengan pembagian jatah istri. Ia ingin Tuanku Tan Amo memberikan jatah itu padanya sampai ia punya anak perempuan.
Kearifan yang cukup berhenti di situ saja. Fakta bahwa Bungo Rabiah menghalalkan segala cara demi keserakahannya mempertahankan segala yang ia miliki membuat saya cukup mengiyakan komentar sastrawan, Heru Joni Putra, bahwa ekspektasi kearifan budaya lokal akan berakhir mengecewakan. Begitu banyak kesombongan dan keserakahan yang disuguhkan dalam setiap tokoh utamanya, baik Bungo Rabiah, Tuanku Tan Amo, Karengkang Gadang, atau bahkan Magek Takangkang.
“Bila ada pembaca yang berpikiran bahwa segala yang berhubungan dengan budaya tradisional selalu berarti keluhuran belaka, maka bersiap-siaplah untuk kecewa sejadi-jadinya. Novel yang sangat pendek ini justru bercerita tentang pertautan abadi antara kebanggaan dan kepandiran, kepongahan dan ketidaktahuan, serta kehormatan dan kebiadaban.” – Heru Joni Putra, Sastrawan.
Sebelum memasuki cerita, penulis menyuguhkan silsilah Ranji Rangkayo mulai generasi pertama. Awalnya, saya dibuat bingung oleh silsilah tersebut. Silsilah yang saya lihat tidak seperti silsilah yang biasa saya lihat sebelumnya, yang menampilkan ayah ibu sebelum garis anak. Ranji Rangkayo benar-benar hanya menyajikan keturunan yang lahir dari generasi Rangkayo. Posisi ayah atau ibu yang bukan merupakan Rangkayo tidak dimasukkan di dalamnya. Kebingungan berikutnya ada pada penempatan panah bergaris, utuh dan juga titik-titik. Saya terheran-heran, mengapa tidak dibuatkan panah yang sama saja? Semakin dilihat, semakin tak paham. Maka, saya singkirkan dulu pertanyaan mengenai silsilah dan mulai membaca.
Cerita dimulai dengan Tuanku Tan Amo yang kabur pada malam persetubuhannya dengan Bungo Rabiah. Keesokan harinya, Bungo Rabiah mencari ke setiap rumah istri Tuanku Tan Amo, dan menemukan suaminya sedang asyik duduk di kursi goyang pemberian Asisten Residen Padang Darat. Ia marah-marah dan meminta Tuanku Tan Amo kembali ke Rumah Gadangnya malam ini dan memberinya bibit anak perempuan. Tuanku Tan Amo tak serta-merta mengiyakan. Ia justru berunding tentang hal lain dan mencoba membuat kesepakatan. Salah satunya untuk menikahkan Karengkang Gadang -anak pertama Bungo Rabiah- dengan Jintan Itam, orang kepercayaan Bungo Rabiah.
Bab selanjutnya menampilkan Magek Takangkang yang sedang melakukan pertobatan di sebuah pondok, yang kemudian diketahui lokasi pertahanan Pasukan Padri. Pada bab ini menampilkan Magek Takangkang yang begitu nanar. Ujung dari pertobatannya, ia memutuskan untuk menghantam kemaluannya dengan batu besar.
Begitulah dua bab pembuka yang lumayan membingungkan bagi saya, terutama pada bab Magek Takangkang. Dua bab pembuka yang selanjutnya saya simpulkan merupakan perkenalan dua kubu Perang Padri di Luak Tanah Datar. Tuanku Tan Amo dan Bungo Rabiah dari kubu masyarakat adat, sedangkan Magek Takangkang yang kemudian menjadi Kasim Raja Malik dari kubu Pasukan Padri.
Sebelum masuk pada perang, disuguhkan ‘hitam’nya adat kebiasaan masyarakat di sana. Judi, sabung ayam, minum minuman keras, beserta sifat-sifat yang telah disebutkan Heru Joni Putra. Hal-hal itulah yang diperangi oleh Pasukan Padri. Magek Takangkang yang merupakan saudara seibu Bungo Rabiah, tak gentar saat akhirnya menghadapkan pedangnya pada Bungo Rabiah. Bahkan, kemarahan dan kepongahan juga saya rasakan ada pada diri Magek Takangkang, yang mengaku akan menghabisi para ‘kafir’ dari Ranji Rangkayo. Entah bagaimana, mungkin hanya kesok-tahuan saya saja, saya merasa kemarahan itu mungkin ditujukan pula ke dirinya sendiri. Tak bisa dipungkiri, ia pun bagian dari Rangkayo. Bahkan, keputusannya menghantam kemaluannya dengan batu tak serta-merta membuat apa yang ia perbuat hilang dari ingatannya.
Perang pecah saat Yang Dipertuan Naniangsyah menolak keinginan Tuanku Lintau yang menuntut segala tradisi dan adat istiadat selama ratusan tahun dihapuskan. Begitu juga penghapusan barambuang, istilah judi di Tanah Datar, dan pewarisan harta pusaka serta garis keturunan tidak lagi kepada perempuan. Darah bertebaran. Mayat berserakan. Rumah-rumah habis dibakar. Tak ada yang tersisa di lembah sisi tenggara Gunung Marapi itu, kecuali kesuraman.
Cerita 134 halaman ini layak untuk dibaca dan menambah pengetahuan kita akan sejarah dan budaya. Pengetahuan saya akan Perang Padri masih jauh dari kata cukup. Bahkan, buku ini yang pertama dan mungkin memancing rasa penasaran saya akan sejarah di Minangkabau. Jadi, apa yang saya tulis di atas masih perlu kamu buktikan dengan membacanya sendiri. Different experience will make different perspective. Perspektif kamu mungkin akan berbeda dan bertolak belakang dengan apa yang saya pikirkan. Akan menyenangkan bisa mendiskusikan perbedaan ini.
Selamat membaca.
Sumber gambar cover buku : //mojokstore.com/wp-content/uploads/2021/08/Segala-yang-Diisap-Langit.jpg
Rolin
Suka deh!
Ada suaranya juga, narasinya juga bagus
Kalo dikomen gini semangat ngga?
ernaa
Wah, makasih.
Jangan lupa baca bukunya, ya.
Selamat membaca.