Photo by David Pisnoy on Unsplash
Mobil mungilku berbelok ke kiri, keluar dari Menara Sudirman. Menembus macetnya Jalan Sudirman di sore hari. Melewati puluhan manusia yang berjalan kaki menuju stasiun MRT di trotoar lebar pada sisi kiri dan kanan. Beberapa dari mereka naik menuju jembatan penyebrangan yang semakin ramai di malam hari. Jembatan itu baru diselesai dipercantik dan menjadi salah satu destinasi konten anak muda untuk menunjukkan betapa indahnya Jakarta di kala malam.
Aku memutar setir di simpang Patung Pemuda Membangun. Melewati hutan kota yang diisi segelintir manusia yang olahraga sembari menghirup asap kendaraan yang semakin tebal. Berbelok ke kiri, melewati Semanggi, menuju Gatsu, dan kemudian melenggang bebas di jalan tol bersama beragam mobil ternama dunia. Ah, kata siapa jalan tol membuat perjalanan bebas hambatan? Aku masih harus menemui macet di beberapa titik. Beruntung bila aku bermacet ria bersama mobil mahal. Aku tak perlu terlalu bosan karena bisa menikmati pemandangan dari tampak luarnya yang keren seperti Lexus, Mini Cooper, Range Rover, Cadillac dan masih banyak lagi.
“Astaga. Berapa pajak yang harus dia bayar untuk mobil sekeren itu?” tanyaku pada diri sendiri, saat berjajar dengan Ranger Rover Evoque warna putih.
“Ah, aku lupa, orang kaya punya banyak cara untuk mengelak dari pajak,” umpatku kemudian, masih pada diri sendiri. Dan aku kembali melaju.
Setiba di bandara, aku celingak celinguk mencari manusia satu itu. Kuraih ponsel dan meneleponnya.
“Aku sudah di terminal 3. Kamu di mana? Cepat. Makin malam, makin macet nih.”
“Yaris hitam B 1234 KY?”
“Iya. Udah lihat ya?”
“Meluncur, nona.”
Panggilan berakhir. Sialan.
Melalui kaca spion, sosoknya muncul dengan setelan jins dan jaket kulit hitam. Resleting jaketnya tidak ditutup sampai setengah dada, memperlihatkan kaos berwarna putih di balik jaket itu. Pria itu menggendong ransel di bahu kanannya dan membawa tumbler di tangan kiri. Semakin dekat, aku membuka kunci pintu sehingga ia bisa langsung masuk. Dilemparkan tasnya ke kursi belakang dan memasang sabuk pengaman.
“Kok dari belakang sih? Pintunya kan di sana,” protesku, sambil menunjuk pintu kedatangan di ujung sana.
“Tadi muter-muter dulu. Habis, lama banget. Udah sejam lebih aku di sini.”
“Selamat datang di ibukota, tempat yang tepat untuk mengeluh sepanjang hari,” ledekku.
Ia tertawa menanggapi ledekanku. Katanya, ia akan belajar mengeluh padaku dan akan meluapkan keluhannya setiap hari di hadapanku. Aku tak menanggapi ledekannya itu. Sebelum aku melajukan mobil, ia menawarkan diri untuk bertukar posisi.
“Nggak perlu. Aku cewek progresif,” tolakku penuh kemenangan.
“Yee, sombong. Mentang-mentang udah jadi anak kota,” ledeknya kemudian, dan kami berdua tertawa.
“Kamu nggak kayak orang pindahan deh. Kamu yakin hidup di Jakarta bermodalkan satu tas itu doang?” tanyaku, sambil melajukan mobil, keluar bandara dan mengikuti arus kembali ke pusat kota.
“Bukannya di Jakarta yang dibutuhin cuma isi dompet ya?”
“Anak baru udah belajar sombong,” ledekku lagi.
Kami mulai bercerita tentang banyak hal. Tentang ia yang banyak bersenang-senang selama bekerja di Bali. Tentang aku yang mulai menikmati suasana ibukota. Lalu kami kembali ke masa kuliah kami di Bandung. Tentang pertemanan kami bersama tiga mahasiswa lainnya, yang suka ngopi sambil ngobrol ngalor ngidul nggak jelas sampai berjam-jam di Banyubiru.
Namanya Gian, teman kuliahku di Bandung. Lebih tepatnya, temanku saat aku kuliah di Bandung. Kami beda jurusan. Aku di jurusan Sosiologi, dan dia Komunikasi. Kami bertemu di sebuah acara tahunan kampus sebagai panitia. Selain Gian, acara itu juga mempertemukanku dengan tiga mahasiswa lain, yang membuat kami berlima menjadi akrab. Tiga mahasiswa lainnya itu, ada Lina si anak Hubungan Internasional, Ferry si anak Bisnis Digital, dan Viona si anak Teknik Sipil dari ITB yang merupakan temannya si Ferry. Viona bisa menjadi panitia karena diselundupkan oleh si Ferry yang kala itu menjabat ketua panitia. Tak ada yang tahu kalau Viona bukan mahasiswa Unpad. Kami kaget dan tertawa bodoh saat Viona mengungkap identitasnya.
Kami semua sudah berpencar mencari penghidupan masing-masing. Lina melanjutkan studi di London. Dia memang sudah belajar mati-matian untuk bisa dapat beasiswa. Aku sempat bertetangga kos dengan dia, dan aku tahu hampir setiap malam dia belajar dan latihan. Ferry diterima kerja di Singapura. Bapaknya memang kaya. Tak heran kalau dia punya koneksi di Singapura. Viona kerja di Kalimantan, mengurusi beberapa proyek pemerintah di sana. Gian bekerja di perusahaan periklanan di Denpasar, dan setelah sekian lama tak saling memberi kabar seusai kuliah, dia menghubungiku dua hari lalu, sebelum ia terbang ke Jakarta.
“Kamu nginep di mana?”
“Four Seasons,” jawabnya mantap.
Aku melongo mendengarnya. Tak percaya ia akan menginap di hotel mewah di tengah kota.
“Atasanku pesan hotel di sana, tapi ternyata nggak jadi ke Jakarta karena ada kepentingan mendadak di kantor pusat di Singapura. Daripada dibatalkan, dia hibahkan ke aku. Lumayan kan.”
“Loyal juga atasan kamu.”
“Lapar nih.”
“Gulai mau?”
Ia mengangguk, dan aku mengarahkan mobil menuju Blok M. Sesampainya di Blok M, aku mengamati sisi kiri, mencari celah untuk memarkir mobil. Tak ada celah sama sekali. Maklumlah, Jumat malam. Banyak anak muda berkumpul di keramaian untuk menyambut akhir pekan. Putus asa, akhirnya aku masuk ke Blok M Square dan memarkirkan mobil di sana.
“Jalan dikit nggak papa ya,” ucapku.
Dia tampak senang dan menikmati langkahnya. Kami menyeberang menuju deretan pedagang kaki lima dengan berbagai makanan.
“Gultik?” tanyanya kemudian.
“Iya. Kok tahu sih?”
“Aku berharap kamu ngajak aku ke hidden gemnya Jakarta. Ternyata Jakarta sudah membuat Rania kehilangan the sense of antimainstream-nya,” ledeknya.
“Berisik deh,” sanggahku.
Aku memesan dua porsi untuk kami berdua. Tak puas dengan sepiring gulainya yang telah kandas, ia memesan seporsi lagi menggunakan piring yang sama.
“Seporsi gultik nggak akan cukup buat pelancong dari ujung pulau, Rania,” ucapnya membela diri sendiri.
“Nggak ada yang nyalahin kok. Kamu mau nambah sampai dagangan si abang habis juga boleh.”
Dia tertawa menanggapi jawabanku dan menambah seporsi lagi. Aku hanya menggelengan kepala. Sepertinya dia benar-benar akan menghabiskan gulai yang ada di panci.
Selesai dengan porsinya yang ketiga, diletakkannya piring yang sudah kosong itu di kursi kosong di sebelah kirinya. Ia lantas mengeluarkan dompet dari kantong jaket kulitnya.
Aku menghadang. “Kali ini aku yang bayar. Anggap saja traktiran selamat datang,” kataku.
Ia sumringah dan berkata, “Sungguh menyenangkan hidup di era emansipasi wanita.”
Kemudian kami menuju Four Seasons, tempatnya menginap.
“Besok temani aku cari kos ya. Sokongan penginapan mewah cuma untuk dua malam,” pesannya, sebelum turun di depan lobby hotel. Setelah memastikan aku mengiyakan permintaannya, ia turun. Tak lupa, ia mengambil ranselnya di kursi belakang dan melambaikan tangan.
Sabtu pagi, aku menjemput Gian di hotel yang sama. Lagi-lagi, ia menawarkan diri untuk bertukar posisi, sehingga ia yang mengemudi. Aku menolak dan menyuruhnya duduk manis di kursi penumpang. Aku memintanya membaca peta di ponselnya dengan benar dan ia mengangguk. Tapi ia beberapa kali memberi arahan yang salah. Dia mengarahkan aku lewat jalan layang ketika seharusnya bergeser ke jalan bawah di sebelah kiri. Ia membuatku lurus saat seharusnya belok kiri. Karena kesal, aku menepi dan bertukar posisi.
Dia tertawa menyadari ketololannya dalam membaca peta. “Lagian, jalanan di sini ribet banget. Kan bisa lurus, kenapa segala dibelokin ke kiri,” rutuknya sambil meringis.
Kami tak banyak meninjau kamar kos. Ia mengiyakan kamar pertama yang ia lihat di wilayah Setiabudi. Katanya, ia hanya ingin memastikan wajah penjaga kos. Aku agak terkejut mendengar jawabannya.
“Tampangnya nggak kayak orang kepoan. Aku malas kalau penjaga kosnya kepoan,” katanya kemudian. Dia menceritakan pengalamannya dengan penjaga kos yang kepo saat ia pertama di Denpasar. Dia tak bisa pulang dengan tenang karena selalu dihadang dengan banyak pertanyaan setibanya di pintu pagar. Bahkan, ia harus mendengarkan curhatan saat ia sudah berada di depan pintu kamarnya. Tentang kucing tetangga yang mati ditabrak truk-lah, pelukis di galeri sebelah yang ternyata anak dari pamannya istrinya-lah, dan banyak cerita tidak penting lainnya. Awalnya, ia dengan setia mendengarkan dan menjawab seperlunya, tapi lama kelamaan ia bosan juga, dan membuat daftar cara menghindar dari pertemuan itu. Aku tertawa mendengar alasan yang ia buat-buat itu. Ia berjanji menunjukkan daftar alasan yang telah disusunnya untuk beberapa hari.
Keesokan paginya, aku menjemput Gian lagi. Kali ini ia membawa serta ranselnya. Ransel yang sama yang kulihat saat di bandara. Hari ini dia pindah ke kos baru, kos dengan penjaga kos yang tidak bertampang kepo di Setiabudi itu.
“Eh, kok bajunya beda lagi?” katanya seraya melemparkan ranselnya ke kursi belakang.
“Ya ganti dong. Kan udah beda hari,” jawabku kesal.
“Maksudku, warnanya itu lho.”
“Hah?”
“Pas di bandara, kamu pakai warna hijau dan krem kayak cewek bumi. Kemarin, kamu pakai warna hitam kayak anak mamba. Sekarang kamu jadi cewek kue, pakai warna pastel gini. Kamu ini cewek apa?” tanyanya, setengah bercanda setengah serius.
“Ribet amat sih mengkotak-kotakkan cewek pakai warna-warna baju. Mau pakai hitam kek, kuning kek, cokelat kek, apa kek, terserah yang pakai. Definisi manusia nggak sesempit cewek mamba, kue, bumi, atau apalah itu kan?”
“Industri mode bisa sulit mengarahkan penjualan kalau semua orang kayak kamu.”
“Justru itu. Industri mode biar putar otak lebih keras kalau mau bertahan. Masyarakat kita nggak sebego itu kali buat diframing sama tren industri. Bukan mode yang menciptakan karakter seseorang, tapi sebaliknya. Kita berpakaian untuk menampilkan diri kita yang sebenarnya, bukan untuk mengikuti tren supaya terlihat A, B, C, atau D.”
Dia mengangguk setuju. “Tapi kan masih banyak yang begitu. Lihat tuh di media sosial. Berbondong-bondong mengdefinisikan diri sebagai A, terus yang lain membeo jadi A juga.”
“Ada bukan berarti banyak kan?”
“Serius, banyak yang begitu. Manusia sekarang tuh udah kayak siluman beo. Tren A ngikut ke A, tren B ngikut ke B. Kalau terjun ke jurang main tuding siapa yang duluan.”
Kami sampai di depan gang. Aku bersyukur, Gian hanya membawa satu ransel saja untuk dibawa masuk. Aku jadi tak perlu repot-repot membawakan barang-barangnya. Cukup membawa kakiku saja masuk melewati gang kecil yang hanya cukup dilewati dua motor berpapasan. Kami harus minggir ke teras warga saat ada dua motor lewat berpapasan.
“Kenapa sih milih kos di gang sempit gini?” tanyaku heran.
“Karena bapak kosnya nggak kepoan,” jawabnya santai sambil meringis.