Saya beberapa kali membaca seri buku secara acak. Seri Pulau Buru yang saya baca dari edisi kedua dan diakhiri Bumi Manusia, Supernova yang dimulai dari edisi 4 lalu ke KPBJ, seri fantasi manusia serigala ala-ala Twilight yang saya mulai dari edisi kedua, dan Amba menjadi yang berikutnya. Sebelum membaca buku ini, saya membaca Kekasih Musim Gugur yang kebetulan kala itu masih segar dari penerbitan. Setelah membaca Kekasih Musim Gugur, saya penasaran dengan sosok Bhisma. Dan di buku Amba ini, segala penasaran saya rasanya terjawab.
Tentang Buku Ini
Buku ini bercerita tentang perjalanan Amba menemukan kembali masa lalunya. Di sebuah pulau bernama Buru, ia mencari jejak Bhisma, kekasihnya yang hilang di suatu masa yang berhubungan dengan sejarah bangsa ini. Sejarah kekirian yang sampai sekarang masih abu-abu bagi saya, dan mungkin bagi banyak masyarakat di negeri ini.
Amba lahir di keluarga sederhana dengan ayah seorang kepala sekolah dan ibu si mantan kembang desa. Ia juga hidup bersama si kembar cantik, Ambika dan Ambalika. Saat menamai anaknya sebagai Amba, sang Ayah mendapat cemoohan karena kisah tragis sosok Amba dalam tokoh wayang yang tak mendapatkan lelaki yang diidamkan, Salwa dan Bisma. Ayah ingin Amba menuliskan takdirnya sendiri. Begitulah Amba menjalani hidup. Ia tahu apa yang ia inginkan, menulis takdirnya sendiri, dan tak bersembunyi di balik tragisnya sosok Amba dalam tokoh wayang.
Takdir mengantarkannya pada sosok Salwani Munir atau Salwa yang penuh tanggung jawab dan mungkin terbilang kaku. Salwa mampu meyakinkan orang tua Amba dengan pekerjaannya yang mapan sebagai dosen di universitas di Yogyakarta. Di tengah hubungannya dengan Salwa, Amba magang sebagai penerjemah di sebuah rumah sakit di Kediri. Takdirnya di sana membawanya pada Bhisma Rasyad, seorang dokter lulusan Leipzig di Jerman Timur. Kemudian, diketahui bahwa Bhisma ada hubungannya dengan ideologi kiri bawah tanah. Di suatu peristiwa berdarah di Universitas Res Publica (sekarang Universitas Trisakti), Amba kehilangan Bhisma.
Kekeruhan pada saat itu berdampak pada situasi di Kediri. Ia pun kembali ke Yogyakarta. Ia tak berani pulang ke rumah. Ia malu pada orang tuanya, terutama karena mereka mengingatkannya pada Salwa, lelaki yang dikhianatinya.
Sosok Bhisma terus ada di hidup Amba, menjelma sebagai benih di dalam rahimnya. Ia berniat membesarkan anak itu. Di Jakarta, ia kembali menjadi penerjemah seorang dokter -Adalhard-, yang kemudian menjadi suaminya. Kehidupan Amba dan Adalhard tak banyak dibahas, terlebih kehidupan pernikahannya. Kemudian, dikabarkan Adalhard meninggal, dan Amba menerima sebuah surel anonim bahwa Bhisma sudah meninggal.
Dari sinilah Amba memulai kembali perjalanannya menuju Bhisma. Ke sebuah pulau yang lebih sering digambarkan mengerikan. Pulau Buru. Pulau dimana para tahanan politik berhaluan kiri (atau yang setidaknya dicap berhaluan kiri) diasingkan. Dalam perjalanan ini, Amba ditemani Zulfikar, teman Bhisma selama di tefaat Buru.
Di dalam kapal, mereka bertemu Samuel. Ia seorang mata-mata yang melaporkan keberadaan orang asing di Pulau Buru, terutama yang ada hubungannya dengan eks-tapol. Tapi, Samuel terpikat dengan pesona Amba dan akhirnya membantu perjalanan Amba dan Zulfikar mencari jejak Bhisma.
Dalam perjalanan itu, mereka menemukan beberapa rintangan. Didatangi polisi karena pengkhianatan teman Samuel, sampai pertengkaran Amba dengan Mukaburung. Setelah itu, Amba berhasil menemukan jejak Bhisma yang terakhir dalam surat-surat yang diberikan Manalisa.
Surat-surat itu ditulis oleh Bhisma di masa awal ia masuk tefaat Buru. Surat itu tertuju kepada Amba, namun tak pernah dikirim. Bhisma tak mau Amba terkena masalah karena menerima surat dari seorang tapol. Maka, surat itu ia kubur di dekat pohon.
Bhisma bercerita tentang banyak hal. Tentang tapol yang dipaksa bekerja dari pagi hingga sore (dengan istirahat di tengah hari dan guyonan barak di malam hari) membangun Pulau Buru dari nol. Tentang perlakuan penjaga kamp terhadap tapol. Tentang sisi lain dari penjaga yang sesekali membuat pesta untuk merayakan panen dan berkelakar bersama para tapol. Tentang kondisi tak menyenangkan di antara para tapol yang terus mengelak. Dan tentang bagaimana Bhisma akhirnya memilih mati.
Pertanyaan Amba akhirnya terjawab, bahwa Bhisma memang sudah mati. Akhirnya ia tahu mengapa mereka berpisah pada peristiwa itu dan yakin bahwa cinta Bhisma kepadanya tak pernah hilang selama di pengasingan. Kemudian ia tahu siapa pengirim surel yang membuat Amba jauh-jauh menapakkan kaki di pulau itu.
Yang Menarik bagi Saya
Hal yang menarik dari buku ini adalah pada surat-surat Bhisma yang ditujukan kepada Amba. Bhisma berusaha menceritakan sisi lain dari Pulau Buru. Menurutnya, pulau itu tak semengerikan yang dibicarakan kebanyakan orang. Tapi menariknya saya menangkap ada kegetiran dari setiap cerita itu. Seolah Bhisma sendiri sama dengan tapol lainnya yang mengelak kepedihannya sendiri. Bhisma, sama seperti kebanyakan tapol di tefaat Buru, tak benar-benar terlibat dalam ideologi kiri yang ditakuti pemerintah itu. Keterlibatannya dengan kelompok kiri sama sekali tak ada kaitannya dengan masalah ideologi.
Hal menarik lainnya adalah alasan Bhisma memilih menetap di pulau itu meski pemerintah telah membebaskan para tapol untuk kembali ke kampung halamannya atau mengajak anak istri hidup bersama.
Kisah cinta yang disematkan dalam novel berlatar sejarah ini juga tak kalah menarik. Penulis meramunya menjadi kisah rumit yang tidak menggangu. Saya jadi ingat pada Reuben dalam tokoh Supernova yang mengatakan “Sebenarnya, aku nggak keberatan dengan bumbu romantis. Asal tujuannya jelas.” (Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh, hal. 132). Dan cerita cinta di buku ini menggambarkan hal itu.
Saya suka sosok Amba di buku ini. Bahkan, saya sudah menyukai Amba sejak di buku Kekasih Musim Gugur. Penulis menggambarkan Amba dengan sangat kuat, sekuat karakternya dalam menjalani kehidupannya tanpa gentar. Wanita percaya diri yang tak peduli dengan banyak hal, namun begitu peduli pada emosi. Kepeduliannya pada emosi inilah yang kemudian membuat hubungannya dengan Siri -anaknya- merenggang.
Bhisma Rasyad. Saya suka nama itu dan tak keberatan menjadikan itu sebagai nama anak saya kelak. Namun, banyak hal di diri Bhisma yang tidak bisa dipandang sebagai hitam dan putih. Ia mampu membuat pembaca terpukau, dan kemudian mengkritik. Mengkritik pilihannya dalam menggunakan kata, mengkritik pilihannya untuk mati, mengkritik banyak pilihan yang ia tentukan dalam cerita. Begitu pula Salwa yang begitu tulus namun terlalu kaku. Kedua pria ini tak membuat segalanya menjadi hitam atau putih, namun bertahan dalam keabu-abuan. Sama seperti sejarah yang melatari cerita ini, yang dibiarkan di tengah ruang abu-abu.
Adalhard. Sayang sekali sosok ini tak banyak diceritakan. Tapi saya tak begitu keberatan. Dengan begitu, ia menjadi satu-satunya tokoh yang tidak berada dalam ranah abu-abu dan itu menjadikannya menarik.
Rekomendasi
Buku ini layak masuk dalam daftar buku yang harus dibaca, terutama bagi kamu yang tertarik pada sejarah. Tak hanya menyelami masa lalu Amba, tapi juga masa lalu kelam bangsa Indonesia yang mungkin tak akan bisa dicerahkan. Meski tebal, cerita disampaikan dengan sangat menarik dan tak akan membuatmu bosan. Buku ini akan mengantarkan kamu pada peristiwa-peristiwa besar di masa lalu, yang tak kamu temukan di cerita sejarah saat sekolah.
Saya membaca buku ini di aplikasi perpustakaan digital, iJakarta.