“Dosa atau tidaknya (joki) biarkan tuhan yang menentukan. Asal tidak merusak nilai moral dan etika, tidak ada yang dirugikan dan terjadi transaksi yang sah. Menurut saya (joki) fine-fine aja.”
Ada yang janggal nggak sih dari kalimat di atas? Membahas joki yang tidak merusak moral dan etika aja menurut saya udah janggal. Nah ini, masih dibumbui dengan premis kenihilan kerugian dan keabsahan transaksi yang berakhir pada kesimpulan bahwa joki dinilai fine-fine aja. Bingung nggak sih?
Jadi gini.
Akun X Mbak Abigail Limuria lagi ramai-ramainya bahas tentang perjokian di dunia akademik. Pasalnya, Mbak Abi ini upload video di Tiktok dan ternyata banyak komentar yang seolah menjustifikasi keberadaan joki ini sebagai sebuah bisnis belaka. Saya nggak tahu ya, ini masyarakat kita yang denial atau emang salah platform aja?
Nah, komentar-komentar dari tiktok ini kemudian dibawa Mbak Abi ke ruang X. Menurut Mbak Abi, komentar mereka tuh cukup mind blowing. Saya setuju sih. Kolom komentarnya tuh memang cukup mencengangkan dan bikin kita jadi nggak habis pikir gitu.
Salah satunya ya seperti komentar yang saya kutip di awal. Itu adalah salah satu komentar dari warga Tiktok di videonya Mbak Abi. Saya nggak habis pikir dengan anggapan bahwa joki itu nggak melanggar moral dan etika. Iya sih, Mbak Abi emang nggak menyinggung perihal moral dan etika di videonya. Tapi masa iya sih berkesimpulan begitu?
Joki nggak melanggar etika dan nggak merugikan siapapun
Menanggapi komentar sebagaimana saya sematkan di awal tadi, rupanya ada akun X yang membagikan utas serupa terkait joki. Utas dari akun bernama RidhaIntifadha ini sedikit banyak menjawab persoalan etika yang menurut salah satu pengguna tiktok fine-fine aja. Dari utas tersebut, dijelaskan bahwa dalam dunia kriminologi, joki skripsi ini termasuk ke dalam pelanggaran etika dan pelakunya bisa digolongkan sebagai white collar criminal.
Kenapa joki akademik masuk dalam pelanggaran etika? Hal ini karena fenomena joki menabrak asas perguruan tinggi, yaitu jujur dan bertanggung jawab. Ditambah lagi, pelaku joki ini bisa dijerat hukum lho. Jadi, sudah cukup jelaslah ya apakah joki melanggar moral dan etika atau nggak. Tapi, membahas tentang moral dan etika tuh emang nggak ada habisnya. Yang berkuasa di atas sana aja nggak peduli sama pelanggaran etika kok, hehe.
Nah, lanjut ke bagian kerugian. Kalau bahas tentang nggak ada yang dirugikan dari perjokian, ini masih bisa diperdebatkan sih.
Menurut saya, dunia joki ini merugikan kedua belah pihak, baik penjoki dan yang dijoki. Penjoki seharusnya rugi karena hasil karyanya diakui jadi milik orang lain, sedangkan yang dijoki juga rugi karena dia nggak dapat ilmunya. Tapi, kerugian mereka jadi impas karena ada transaksi jual-beli. Si penjoki jual karyanya buat diakui jadi milik si yang dijokikan. Lalu yang dijoki membayar untuk dapat kepemilikan karya tersebut. Terjadilah pembayaran dan semua impas.
Terkait keabsahan pembayarannya, rasanya masih perlu didebat juga. Mengingat bahwa pelaku joki ini bisa dijerat hukum, maka pembayaran yang terjadi dalam proses perjokian ini seharusnya nggak sah ya. Anak hukum kumpul yuk.
Nah, perihal kalimat saya bahwa si yang dijokikan termasuk rugi karena dia nggak dapat ilmunya, dapat dibantah dengan komentar di bawah, yang masih berasal dari video tiktoknya Mbak Abi.
“Walaupun pakai joki, kita ttp ngerti isi tugasnya kok, kan dipelajari ulang hasil jokinya.”
Sebenarnya, memang sewajarnya begitu sih. Kalau udah ngejoki tapi tetap nggak paham substansinya, justru dipertanyakan: kuliahnya ngapain?. Tapi, menurut saya, mau ngerti substansi hasil jokinya atau nggak, dia tetap nggak tahu prosesnya. Cari sumbernya dimana, ngutip sumber primer sekunder dll gimana, nentuin penelitiannya gimana, penulisan di dipisah dan di digabung bedanya apa. Dia mungkin nggak tahu itu semua. Ibaratnya, kita baca buku Cantik Itu Luka yang ditulis Eka Kurniawan tapi tiba-tiba mengklaim bahwa kita adalah penulisnya hanya karena udah baca dan tahu isinya. Masuk akal nggak?
Selain kedua belah pihak, nampaknya pihak kampus juga turut dirugikan. Baik joki tugas maupun joki skripsi, hal ini membuat kredibilitas kampus perlu dipertanyakan: berapa besar porsi mahasiswa yang lulus murni dibandingkan mahasiswa yang lulus jalur joki? Kalau lebih banyak yang lulus jalur joki, rasanya kampus perlu melakukan sesuatu.
Eitss… Bisa jadi nggak masalah juga sih. Terlepas bagaimana prosesnya, mahasiswa yang lulus dengan IPK tinggi sudah menyumbang angka KPI dan mengharumkan akreditasi. Bukankah begitu?
Joki adalah murni bisnis: dipakai danusan sampai disamakan dengan dealer mobil. Emang iya?
Tahu kan, istilah danusan yang suka dipakai anak organisasi buat menggalang dana? Danusan berasal dari kata danus, yang merupakan kepanjangan dari dana usaha. Jadi, biasanya mahasiswa jualan (makanan, barang, jasa, dll) dan keuntungannya dipakai untuk operasional organisasi atau kebutuhan lainnya. Kreatif bukan? Saking kreatifnya, ada mahasiswa yang menjadikan joki tugas sebagai jasa danusan. Alih-alih menawarkan produk yang bisa dijual, mahasiswa ini justru buka jasa joki tugas bertamengkan danusan.
Yang lebih parah lagi, ada komentar di Tiktok yang menyamakan joki dengan dealer mobil sebagai bisnis belaka. Sejauh ini, ini yang paling jauh sih. Ya iya sih, dua-duanya usaha jual-beli dan ada pertukaran kepemilikan. Tapi masa iya sih disamakan?
Kalau sebuah dealer menjual mobil, pembeli kan cuma bayar untuk mobilnya aja ya. Setelah itu, pembeli bisa mengklaim mobil itu miliknya. Tapi, nggak serta-merta si pembeli ini bisa mengklaim bahwa dia yang buat mobilnya kan? Beda kasus nih dengan joki. Kalau penjoki jual karya ke pembelinya, bukan cuma fisiknya yang jadi kepemilikan pembeli. Dengan memberikan sejumlah uang sebagai pembayaran (yang katanya sah) ke penjoki, maka fisik dan buah pikir yang ada di dalam karya tersebut adalah milik pembeli.
Beda kan ya? Beda dong.
Lalu, masihkah pantas menganggap perjokian akademik sebagai hal yang fine-fine aja?
Masih banyak banget komentar lain yang nggak kalah mencengangkan. Ini mengindikasikan bahwa ternyata masih banyak masyarakat yang menganggap joki sebagai dunia usaha. Normalisasi ini bikin mereka nggak tahu letak kesalahan dari perjokian dan menganggap semua yang terjadi adalah sah.
Lo jual, gue beli.
Menurut saya, menggolongkan joki ke dalam sebuah bisnis nggak sepenuhnya salah. Eitss, tapi… Layaknya bisnis pada umumnya, ada bisnis-bisnis yang sebenarnya nggak perlu-perlu amat dan cenderung lebih baik dihilangkan aja keberadaannya dari muka bumi ini. Salah satunya ya bisnis joki ini.
Seperti yang disampaikan pada utas RidhaIntifadha, joki ini melanggar asas kejujuran dan tanggung jawab di dunia akademik. Kalau di masa belajar aja kita udah nggak jujur dan nggak bertanggung jawab, gimana mau menyongsong generasi emas 2045? Apa nggak cuma meneruskan perilaku korup dan membuatnya semakin mengakar kuat? Mendulang emas banget nggak tuh.
Dengan semakin terbukanya informasi seperti sekarang ini, seharusnya masyarakat bisa memanfaatkan informasi dengan lebih baik. Kalau hal sesimpel joki aja disikapi dengan kurang pas, saya curiga: mereka emang nggak tahu atau pura-pura nggak tahu?
Bukan bermaksud menjustifikasi keberadaan joki. Seenggaknya, kalau memang keadaan memaksa kita buat pakai joki, akuilah bahwa itu bukan perbuatan yang tepat. Jangan membuatnya seakan fine-fine aja hanya karena berhasil mengeruk manfaat sesaat dari hal tersebut.