Indonesia adalah tanah airku.
Di sana aku lahir.
Apapun akan kulakukan untuk melindungi tempat di mana aku lahir.
Tapi mereka mengenyahkanku dari tanahku sendiri.
———-
Saya suka, kalimat itu diletakkan di poster utama film Eksil. Menurut saya, kalimat tersebut benar-benar menggambarkan isi dari film dokumenter yang digarap oleh Lola Amaria dan timnya. Ia menceritakan kembali kisah sejarah yang masih abu dan dinilai tabu di negeri konoha yang sangat kita cinta ini. Saya sebut masih tabu karena rasanya kita masih takut berhadapan dengan kata ‘komunis’. Nggak percaya? Coba saja sebut kata PKI, komunis, atau palu arit. Pasti selalu dikonotasikan negatif dan nggak bisa dielaborasi lebih lanjut. Better left unsaid aja gitu kalau kata Mbak Ariana Grande. Kamu beruntung kalau nggak ketemu lingkungan yang kayak gini.
Mengenai tabunya hal-hal yang berkaitan dengan PKI ini dibahas di dalam film. Tentang susahnya mencari sumber dan bahan bacaan mengenai PKI di Indonesia. Bahwa PKI pernah menjadi partai besar (bersama PNI, Masyumi, dan NU) dan nggak pernah tertulis di buku sejarah. Justru sejarah berdirinya ditemukan di Belanda, bukan di negara asalnya. Banyak hal yang kalau kita ingat lagi, kita jadi mikir: “kok relate ya?”, “Pantesan, sampai sekarang, kasusnya nggak beres-beres”. Tapi, emang sebenarnya ini film bahas apaan sih?
Begini…
Film ini berkisah tentang nasib sepuluh orang eksil yang tinggal di beberapa negara, seperti Belanda, Republik Ceko, Rusia, Jerman, Inggris, dll. Sepuluh narasumber menceritakan bagaimana mereka bertahan hidup di negara tersebut dengan terus terbayang kerinduan akan tanah air. Mereka adalah orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI) yang, pada masa itu, diutus Soekarno untuk melanjutkan studi ke luar negeri. Di beberapa buku mengenai Soekarno, ia memang sering disebut dekat dengan PKI. Terlebih ia sendiri yang mencetuskan gagasan nasionalisme, agama, dan komunisme (NASAKOM) sebagai tiga pilar pergerakan rakyat.
Nahasnya, saat sepuluh diaspora ini berada di luar negeri, terjadi pergolakan di tanah air yang kemudian menorehkan tanda merah bagi PKI dan ideologi kiri. Pergolakan ini kemudian berimbas pada beralihnya kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto. Melalui kedutaan besar di berbagai negara, para diaspora diminta untuk mengakui kekuasaan baru tersebut. Namun, para narasumber di film ini menolak pengakuan tersebut. Alhasil, mereka terasingkan, paspor mereka dicabut dan nggak bisa kembali ke Indonesia. Nggak hanya itu, mereka juga dikelilingi oleh intel yang menyamar sampai lingkaran terdekat. Hal ini menimbulkan adanya perasaan was-was dan nggak percaya kepada siapa pun. Perasaan tersebut bertahan seumur hidup. Bahkan Mbak Lola dan tim sempat nggak dipercaya oleh mereka. Salah satu dari mereka mengaku pernah berpacaran dengan orang yang ternyata diutus untuk memata-matai gerak-geriknya. Ngeri nggak sih? Membayangkan hidup di tengah mata-mata aja udah cukup ngeri ya, apa lagi berpuluh-puluh tahun menjalani itu.
Para eksil ini bersabar hingga masa pemerintahan Soeharto berakhir. Sayangnya, pemerintahan silih berganti dan mereka tak kunjung mendapatkan kembali hak kewarganegaraan Indonesia. Beberapa dari mereka pun akhirnya terpaksa memutuskan untuk menjadi warga negara lain. Setidaknya, kewarganegaraan itu menjadi golden ticket untuk terbang ke Indonesia dan mendapat jaminan keamanan sebagai warga negara asing.
Masih banyak kisah yang diceritakan di film ini. Beberapa bagian, terutama yang berkaitan dengan keluarga di tanah air, bikin mewek dan jadi bertanya-tanya: Does this country deserve the longing of theirs?
Pertanyaan berikutnya: Kenapa filmnya baru tayang di saat pemilu seperti sekarang? Apakah ada unsur kesengajaan dan motif tertentu? Kenapa harus tayang di bioskop yang cuma bisa dinikmati segelintir orang?
Berbahagialah kalian yang tinggal di kota besar dan nggak pernah ketinggalan film terkini.
Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu sedikit banyak sudah terjawab dari beberapa wawancara Mbak Lola di beberapa media. Proses pembuatan film yang memakan waktu hingga sepuluh tahun ini didanai secara mandiri, tanpa sponsor eksternal sama sekali. Padahal, film ini membutuhkan biaya yang teramat sangat tidak sedikit bagi saya kaum mendang-mending ini. Menurut pengakuan Mbak Lola, footage sejarah yang diselipkan di beberapa bagian itu harus dibeli hingga puluhan juta per detiknya. Puluhan juta ‘per detik’ ya, bukan per video. Kalau saya ingat-ingat lagi, film Eksil ini punya buaaanyak banget selipan footage dari peristiwa di masa lampau. Melihat tekad dan kesungguhan ini, saya mulai menyadari kenapa film ini harus tayang di bioskop. Terlebih, film ini memang dibuat agar bisa tayang optimal di layar lebar. Bukan di pc/laptop, apalagi hape. Nonton di bioskop pasti lebih puas sih.
Solusi dari Mbak Lola buat kalian yang di kotanya nggak ditayangkan film Eksil ini, kumpulkan banyak orang untuk sewa 1 ruang bioskop dan nonton bareng.
Nah, film dokumenter dengan biaya yang nggak sedikit ini didanai secara mandiri tanpa bantuan finansial dari pihak luar. Kendala finansial ini jadi salah satu hambatan sehingga prosesnya nggak bisa cepat. Lalu, di tengah proses pembuatan film, beberapa narasumber dikabarkan sudah meninggal. Mbak Lola pun memutuskan untuk mendistribusikannya sebelum para narasumber meninggal satu per satu. Memori ini nggak boleh hilang begitu saja.
Udahlah prosesnya lama, ditambah lagi panjangnya masa antrian di bioskop. Makin lamalah film ini tayang di bioskop. Mbak Lola sudah mengajukan film ini ke bioskop sejak tahun lalu, tapi baru dapat slot di Februari 2024. Voilaaa, meski cuma tayang di beberapa bioskop, filmnya masih bertahan lebih dari satu bulan. Dua jempol buat Mbak Lola dkk. Semoga usaha kalian terbayarkan.
Saya buru-buru nonton film ini karena biasanya film dokumenter kayak gini nggak bertahan lama di bioskop. Pas tahu ternyata Eksil bisa bertahan lebih dari sebulan tuh rasanya bangga. Ternyata masyarakat kita masih mau kok nonton dokumenter sejarah.
Kalau ada yang bertanya, “kenapa narasumbernya laki-laki semua?”, Mbak Lola juga udah pernah cerita kalau sebenarnya dia punya 30 narasumber dan ada yang perempuan. Tapi, hanya sepuluh narasumber yang menyatakan bersedia untuk direkam dan ditayangkan. Kesepuluh narasumber itu adalah Asahan Aidit (alm.), Kuslan Budiman (alm.), Chalik Hamid (alm.), Sarmadji (alm.), Djumaini Kartaorawira (alm.), Hartoni Ubes, Waruno Mahdi, Tom Iljas, I Gede Arka, dan Nurkasih Mintard, serta satu rekaman lama dari Sardijo Mintardjo (alm.).
Pengalaman nonton film ini sendiri agak laen sih. Di satu sisi, saya tersentuh dan kagum sama timnya Mbak Lola. Effortnya itu lho, patut diacungi jempol. Apalagi pas tahu footage bareng anaknya Pak Min (Sardijo Mintardjo) ternyata di luar rencana. Kebetulan ketemu anaknya Pak Min pas ambil footage pemakamannya beliau. Mestakung sekali. Hikmatnya prosesi upacara kematian Pak Min yang diiringi koor Indonesia Pusaka oleh para Diaspora juga sangat mengandung bawang. Baru kali ini dengar lagu Indonesia Pusaka sampai sesyahdu ini.
Nah, di lain sisi, saya agak sebal dengan penonton di sebelah saya yang dikit-dikit bilang ‘ooooh’, ’emang iya ya?’, ‘baru tahu deh aku’, ‘yaampun’, ‘aaaaa’, ‘ih’, dan ungkapan semacamnya. Bahkan beberapa kali malah diskusi saat itu juga. Mbok ya tolong, kalau kaget atau tertarik dengan topiknya, disimpan dulu di kepala dan diskusinya nanti di luar teater aja. Tapi, seenggaknya ini menandakan bahwa kisah ini mungkin nggak banyak diketahui masyarakat dan film full daging semacam ini harus semakin banyak jumlahnya.
*Sumber gambar: Kaltim Today