Photo by Alex McCarthy on Unsplash

 

Malam ini malam lebaran

Dan aku masih di sini

Di kota yang menjadi episenter pandemi

Malam ini mencatat sejarah

Pertama kalinya aku menjalani lebaran di perantauan,

tanpa saudara

Aku bisa saja pergi ke sana

Tapi ada beberapa alasan yang membuatku mengurungkannya

Lain waktu akan ku ceritakan tentang itu

 

Malam ini ku habiskan tuk bersua teman-temanku secara daring. Terima kasih Tuhan, kau hadirkan pandemi di saat teknologi sudah sebegitu hebatnya. Tak bisa terbayangkan bagaimana rasanya menjalani lebaran kali ini tanpa bantuan teknologi.

Aku juga bersua dengan Ibuku. Ia mengenakan daster merah muda. Rambutnya digerai. Tak biasanya ia menggerai rambut. Sama tak biasanya dengan kondisi saat ini, bukan? Ku pikir aku akan menangis ketika melihat wajahnya di malam lebaran. Tapi tidak. Melihat wajahnya yang begitu bahagia memberiku suatu energi yang entah apa. Energi yang membuatku hanyut dalam setiap senyum dan tawa yang ia tunjukkan dengan amat tulus.

Oh, Tuhan. Tadinya ku pikir aku mati rasa saat melihat teman-temanku seperantauan yang menangis meratapi keadaan harus terjebak sendiri di dalam kamar, sedangkan aku masih bisa tertawa lepas. Tapi sepertinya tidak mungkin aku mati rasa. Aku sempat beberapa detik merasa sedih saat mendengar takbir dikumandangkan. Hanya beberapa detik. Tapi sudah bisa dipastikan aku masih punya hati. “Mungkin aku sudah menjadi wanita kuat,” pikirku kala itu. Ya, itu sosok ‘aku’ yang selalu ku inginkan. Tegar menghadapi semua cobaan. Yang percaya akan kekuatan diri sendiri. Yang tak mau siapapun mengontrol emosi dalam diriku. Bahkan jebakan pandemi ini sekalipun.

Tapi, setelah menatap wajah Ibuku, aku baru sadar. Bukan aku yang kuat. Dialah yang kuat. Kekuatanku hadir dari senyumnya yang memberiku kekuatan besar untuk menjalani hidup seberapa pahit pun kondisinya.

Oh, Tuhan. Terima kasih telah menitipkan aku pada Ibu seperti dia. Tolong jaga dia sampai aku bisa kembali mendekap tubuhnya yang semakin renta.

 

*) tulisan ini dibuat pada malam lebaran di kala pandemi