Menikah bukan hanya tentang aku atau kamu. Menikah adalah tentang kita dan tujuan yang satu.
Dua kalimat mainstream itu muncul setelah saya menonton film Kisah 3 Tahun karya Chandu Studio. Film pendek berdurasi 17 menit 26 detik ini sangat padat dan penuh makna. Kalau disandingkan dengan sebuah cerita, mungkin setara dengan flash story, lebih ramping dari cerpen. Film ini diawali dengan lagu Paquita Ganeuschka bersama Endi Naufal berjudul Let Me yang membuat saya jatuh hati. Sayangnya, saya belum bisa mendengarnya selain melalui film ini.
Kisah 3 Tahun menceritakan dua manusia, Kara (Runny Rudiyanti) dan Adra (Khiva Iskak), yang memutuskan untuk tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan. Mereka berdua sepakat untuk melakukannya. Tanpa paksaan dan tanpa ikatan. Obrolan mereka menyenangkan. Saking menyenangkannya, saya sampai berpikir mereka adalah pasangan yang baru menikah, meski saya sendiri sebenarnya tak tahu bagaimana situasi pasangan yang baru menikah. Tiga tahun mereka menjalani kebersamaan tersebut tanpa pernah mempertanyakan perihal pernikahan. Hingga suatu ketika, salah satu di antara mereka goyah dan membuat hubungan mereka terancam.
Begitulah inti dari kisah Kara dan Adra yang dikemas dalam visual yang sangat cantik. Soundtracknya pun menyenangkan. Saya tak paham dunia perfilman, maka saya tak akan berpanjang lebar tentang unsur-unsur tersebut. Saya lebih tertarik bagaimana film ini menyentuh sesuatu yang tidak normatif. Konten setelah ini sarat akan spoiler. Jadi, bila Anda tidak suka spoiler, pergilah menonton filmnya dan kemudian baru kembali ke sini.
Ten decisions shape your life, and you are the best of them all
Itu adalah sepenggal lirik dari lagu Let Me yang menjadi pemantik pembicaraan ringan antara Kara dan Adra di awal scene. Meski ringan, pembicaraan ini mengarahkan penonton pada ini cerita. Saya pikir, film ini akan menjabarkan sepuluh keputusan dalam hidup Kara dan Adra yang membentuk mereka sampai saat ini. Rupanya hanya satu keputusan yang ditekankan di sini. Yaitu keputusan untuk bersama tanpa ikatan pernikahan. Dua manusia, laki-laki dan perempuan, tinggal dalam satu atap yang sama. Menjalani hidup bersama dan sepakat untuk tidak saling mengikat. Situasi ini sangat kontradiksi di tengah masyarakat kita yang sangat mengagung-agungkan pernikahan. Bahwa pernikahan adalah sebuah keniscayaan. Bahwa pernikahan adalah sebuah tujuan dalam kehidupan. Tapi tidak bagi Adra dan Kara. Keduanya sepakat untuk menghempas segala mimpi tentang pernikahan ideal dan sakral yang diidam-idamkan oleh kebanyakan pasangan. Terlepas dari bagaimana mereka menghadapi pertanyaan ‘kapan nikah?’ dari keluarga dan rekan, mereka bisa bertahan. Tiga tahun, seperti judulnya, adalah waktu yang cukup lama untuk mempertanyakan kembali kesepakatan di antara mereka. Setelah tiga tahun lamanya, Kara terusik oleh kehendak untuk saling berbagi kehidupan dalam ikatan pernikahan. Ia merasa tak cukup dengan hanya kebersamaan. Tapi Adra menolak. Ia tak bisa menikah karena suatu alasan yang tak bisa diganggu gugat. Dan sekali lagi, tidak menikah adalah pilihan yang mereka sepakati dan saya rasa penting untuk digarisbawahi.
Selesai menikmati cerita, kemudian saya menilik kolom komentar dan menemukan banyak komentar negatif yang menyalahkan Kara. Tentang bagaimana bisa ia bertahan di tengah hubungan yang toxic. Lebih banyak lagi yang menyalahkan Adra karena tak bersedia menikahi pasangannya. Dan bagi saya, tidak ada yang salah di antara mereka. Kara tidak salah menginginkan sebuah pernikahan. Sesuatu yang dilakukan oleh banyak orang adalah sebuah kebenaran. Bukankah begitu? Adra juga tak bisa disalahkan karena kekeuh dengan prinsipnya. Saya tak tahu apakah ini termasuk dalam istilah toxic relationship seperti yang disinggung oleh para komentator terhormat. Sudah banyak pembicaraan tentang toxic relationship dan saya tetap tak bisa membedakan mana yang benar-benar toxic dan mana yang bukan. Tapi bagi saya sebagai orang awam, jauh dari dunia psikologi, menilai bahwa hubungan mereka dibangun atas kesepakatan bersama dan itu membuat hubungan mereka normal. (Normal bagi saya, dan itu tak berhubungan dengan toxic ataupun bukan.) Mengapa normal? Karena:
Bagi Adra,
Ia tak bisa menikah karena sebuah trauma. Pernikahan baginya adalah sesuatu yang tidak menyenangkan. Pandangan itu ia dapatkan dari pengalaman pribadinya yang melihat kehidupan orang tuanya tak pernah bahagia. Dengan tidak menikah, maka ia terhindar dari kemungkinan pernikahan yang gagal membahagiakan. Kara tahu itu dan mereka sepakat untuk tidak menikah. “It will be less, less painful, if we stay like this,” kata Adra, menekankan pada kata less painful. Adra benar bahwa ia sadar dan menyampaikan itu pada Kara. Ia bisa saja mengiyakan permintaan Kara untuk menikah dua atau tiga tahun lagi. Tapi ia tetap berkata tidak dan itu lebih baik daripada mengiyakan sesuatu yang ia sendiri tidak yakini. Satu-satunya kesalahan yang mungkin bisa dilempar pada Adra adalah ia begitu pengecut untuk menghadapi masalah. Tapi, tetap saja. Saya tak bisa menyalahkan Adra karena pada akhirnya ia membuat keputusan yang menurut saya baik, dan mungkin juga benar.
Bagi Kara,
Ia sepakat untuk tidak saling mengikat. Tapi ia tidak setuju bahwa pernikahan tak mendatangkan kebahagiaan. Pengalamannya berbanding terbalik dengan Adra. Di hidupnya, ia punya Manda (Sheila Miranda Bell), sahabatnya, yang ia lihat jauh lebih bahagia setelah menikah. Bukan itu saja. Ia juga punya Kak Aya yang terlihat utuh setelah menikah. Dan itu membuatnya optimis bahwa bersama Adra, ia akan bisa memiliki keluarga yang utuh dan saling membahagiakan. Ia percaya dan ingin membuktikan pada Adra bahwa tak semua pernikahan akan gagal. Saya rasa Kara tidak salah menginginkan itu dan mencoba mengakhiri keputusan yang mereka jalani selama ini untuk bersama menuju tujuan yang satu.
Itulah alasan saya mengapa tak ada yang bisa disalahkan antara Kara dan Adra. Mereka adalah dua manusia yang berbeda. Untuk dapat bertemu dan hidup bersama, mereka melalui perjalanan yang berbeda. Wajar bila mereka memiliki pemikiran yang berbeda pula. Tapi, siapa tahu, perbedaan itu bisa disatukan dalam Kisah Tiga Tahun 2 (kalau ada) untuk kembali dalam normativitas.