Photo by Daniel McCullough on Unsplash

 

Hanya aku bersama kosong dan gelap dalam lorong ini. Jendela-jendela yang berada di sisi kiri lorong tak ada gunanya. Ia tak serta merta membawa cahaya ke dalam sini. Cahaya yang mengetuk dari luar tak dipersilakan masuk, bahkan tidak untuk setitik saja. Cahayanya sirna menghadapi pekatnya lorong gelap di dalam sini.

Aku berjalan dalam kosong dan gelap, menuju sebuah hamparan langit yang sedang mendung. Di bawahnya, sebuah danau memantulkan gersang. Ada perahu rongsok terdampar di tepian, dan mendung membuatnya terlihat semakin murung. Ia satu-satunya penunggu danau dan kegersangan ini, pikirku pada mulanya. Kemudian kulihat hijau di tengah gersang. Sebuah pohon menjulang tinggi melebihi yang lain. Satu-satunya yang terlihat hidup dalam panorama gersang.

Aku tergoda untuk mendekat. Kusentuh batangnya yang coklat keemasan dan hijau daunnya yang berkilauan. Akarnya terhampar rapi ke segala penjuru, dan bergerak menuju danau.

Sedetik kemudian, danau itu memantulkan sebuah pertunjukan para biksu memainkan seruling dan petikan gitar yang lebih mirip biola dengan senar berlebih. Aku terduduk di akar pohon yang menyala emas. Nada-nada membuat dedaunan menari. Mereka merengkuhku, menyalurkan kehangatan yang begitu memabukkan.

Tanpa sadar, langit yang tadinya mendung berubah menjadi penuh bintang. Tidak, tidak. Itu bukan bintang. Itu berlian. Langit di atas sana bertabur berlian yang kerlip di antara nada-nada.

Bintang itu menjelma seorang wanita yang sedang duduk dengan kaki bersila. Ia menatap jauh entah kemana, dengan kosong. Pasti ada sesuatu yang ia tunggu di ujung sana. Entah di ujung mana aku tak tahu jelas. Yang kulihat di setiap sudut langit -tentu saja kecuali dimana ia duduk bersila dengan kerlip berlian di sekitarnya- hanyalah gelap dan kosong.

Tanganku mengayun ke atas, berusaha meraihnya. Namun tangan ini tak cukup panjang bahkan untuk sekadar meraih bayangnya. Jika saja aku mampu terbang, mungkin aku bisa merasakan sedikit saja yang ia rasakan di atas sana.

Seketika mata itu beralih menatapku. Dan…

Bagaimana mungkin ia memiliki mata yang begitu bening namun terlihat kuyu? Apakah Tuhan keliru menitipkan sepasang mata pada dirinya? Bukankah ini sebuah kesalahan?

Bagaimana jika memang benar matanya seperti itu dan Tuhan dengan sengaja membuatnya begitu? Mungkinkah yang kulihat bening itu hanya bola mata yang tertutup air menggenang tanpa muara?

Sekali lagi kulihat ke dalam matanya. Ada sesuatu yang bergerak. Di dalam sana, iya benar, di dalam mata wanita itu, aku melihat seorang Gadis Kecil melambai padaku.

“Kamu siapa?” tanya Gadis Kecil itu. Badannya kurus dengan baju belel yang mungkin dipungut orang tuanya dari sebuah pembuangan sampah. Di sampingnya, berdiri seorang Gadis Kecil Lainnya, menggenggam ketapel yang mengayun-ayun.

“Kamu siapa?” tanya Gadis Kecil itu lagi.

“Aku…”

Siapa aku?

Aku tercekat, kehilangan jawaban. Aku lupa cara menjawab pertanyaan ini, bahkan tidak kuasa mengatakannya pada diriku sendiri.

“Apa kamu baik-baik saja?” kata Gadis Kecil itu lagi, dengan intonasi yang sama.

Apa yang baru saja dia katakan? Apa dia baru saja menanyakan keadaanku? Ia bertanya untuk benar-benar mengetahui atau untuk mengolok-olokku?

Aku menggeleng dan tak mengeluarkan kata apa pun.

Tangannya mengulur dan aku terjerat ke dalam dunianya. Semakin masuk ke dalam dunia Gadis Kecil di dalam mata seorang wanita yang sedang menunggu dengan kaki bersila.

Gadis Kecil itu berjalan di depan bersama aku yang mengekor di belakang. Di kanan kiri, banyak sekali rumah batu dengan berbagai bentuk. Ada yang bulat dengan jendela cembung. Ada yang kotak dengan pintu lonjong bergagang besi. Ada yang seperti jaring-jaring batu. Dan kami berhenti di depan sebuah rumah batu berbentuk menara.

Jari mungil Gadis Kecil tadi mengetuk pintu rumah batu berbentuk menara. Lalu pintu terbuka menampakkan seorang Bapak Tua bersorban. Tanpa kalimat, ia mengarahkan kami masuk dengan menggunakan gerakan tubuhnya. Ia memutar badan sedikit mundur, menyisakan beberapa langkah agar kami bisa masuk secara bergantian.

Tidak. Rupanya hanya aku yang masuk. Setelah memastikan aku berhasil masuk ke dalam rumah batu berbentuk menara ini, Bapak Tua memberikan beberapa koin perak kepada Gadis Kecil tadi, dan Gadis Kecil Lainnya yang secara tiba-tiba menyembul di belakang. Mereka pun tersenyum girang dan pergi.

Aku merasa telah dijual pada seorang Bapak Tua. Meski begitu, tak penolakan yang timbul baik secara lisan maupun gerak. Si Bapak Tua diam tak berkata apa pun. Jadi aku memutuskan untuk melihat-lihat.

Di dalam rumah batu berbentuk menara ini, terhampar hutan dengan burung yang asyik beterbangan di atasnya. Mereka menyenandungkan nyanyian yang hanya diketahui oleh mereka sendiri, tapi manusia seperti aku biasa menyebutnya sebagai pentas musik burung.

“Kau suka nyanyian burung itu?” tanya Bapak Tua. Suaranya berat dan tidak setua wajahnya yang sudah mulai keriput.

Aku hanya mengangguk. Benar, aku masih belum bisa mengeluarkan suara apa pun. Kurasa, pita suaraku tiba-tiba putus dan perlu dibawa ke bengkel perbaikan.

“Mereka bernyanyi untukmu,” katanya kemudian. “Mari kuantar.”

Aku terbingung-bingung. Siapa Bapak Tua ini? Apa dia mengenalku, sampai dia mempersiapkan pentas musik burung yang merdu ini untuk menyambutku? Dan lagi, akan dibawa kemana aku sekarang? Mungkin aku harus kembali ke pintu dimana aku dipersilakan masuk, dan kabur, dan keluar dari mata wanita yang sedang duduk bersila.

Tidak ada pergerakan. Kakiku justru melangkah mengikuti Bapak Tua menuju sebuah genangan air menyerupai danau. Lagi lagi danau. Danau yang sama dengan sebelumnya, dengan pantulan rindang, bukan lagi gersang. Mungkin ini versi lain dari sebuah kehidupan perdanauan. Bapak Tua ini pastilah seorang yang rajin dan merawat danau serta hutan di sini dengan sangat baik.

Perahu rongsok yang kulihat tadi, kini kulihat menjadi sebuah perahu kayu sederhana, tanpa ukiran atau hiasan apapun. Hanya perahu kayu dan 2 buah dayung yang juga berbahan kayu.

Lagi-lagi aku mengekor padanya, naik ke atas perahu kayu sederhana itu. Ia yang mendayung perahu ini menuju ke tengah genangan air menyerupai danau. Rupanya aliran danau ini cukup panjang dan aku berubah pikiran dan menyebutnya sungai.

Di kanan dan kiri sungai ini, berdiri ratusan pohon yang tak kutahu apa namanya. Burung-burung yang tadi bernyanyi sudah tak mengikuti. Hanya ada langit yang sangat biru dan sekumpulan kapas awan yang cantik.

Pohon yang beratus-ratus berubah menjadi berpuluh-puluh, hingga menyisakan satu dua saja. Kanan dan kiri sungai berubah menjadi permukiman dengan rumah-rumah kayu sederhana, tanpa tanaman di halaman depan.

Pada rumah yang ketujuh, sebuah becak terparkir dengan seorang pria berkaus putih berbaring di atasnya. Rambutnya yang gondrong, kuperkirakan sekitar sebahu, beterbangan lembut oleh angin yang berembus tak terlalu kencang. Lalu ia menggeliat dan menampakkan wajahnya. Wajah itu tampan, tanpa gurat hitamnya kehidupan.

Ayah. Betul. Wajah itu betul-betul mirip Ayah. Mungkinkah itu Ayah? Bukankah seharusnya Ayah ada di rumah? Jelas-jelas tadi aku melihat Ayah sedang membaca buku di teras depan. Ia sedang membaca buku yang baru saja dibelinya di pasar buku bekas. Katanya, itu buku bekas paling berharga di Kwitang. Saat kutanya judulnya, ia menggeleng dan meledek.

“Kamu akan tahu kalau sudah seusia Ayah. Mau bertukar usia dengan Ayah untuk mengetahui judulnya?”

Aku protes, setidaknya ia bisa menunjukkan sampul bukunya padaku. Ia tetap menggeleng dan tersenyum usil. Ayah selalu suka meledekku, dan aku selalu suka meladeni ledekannya.

“Baiklah, ayo bertukar usia. Ayah yang bekerja, aku yang membaca buku. Sepakat?” kataku kemudian.

Ia tak terima dan berkata, “Bukan begitu cara kerja usia, Sayang.”

“Lalu bagaimana, Ayahku sayang?”

Ia tetap menggeleng dan kami tertawa bersama.

Nyanyian burung kembali terdengar dan aku kembali di atas perahu bersama Bapak Tua, menatap wajah yang mirip Ayah sedang terbaring di atas sebuah becak. Nyanyian burung lewat di atas kami, kemudian menuju becak itu. Sosok yang mirip Ayah perlahan-lahan menghilang dan becak itu pun musnah. Mereka hancur bertebaran seperti debu ditiup angin musim panas.

Di saat itulah aku tersadar. Ayah memang sudah pergi meninggalkan guratan hitam kehidupan, tepat setahun yang lalu. Astaga, Ayah. Kenapa ingatanku tentangmu masih sangat jelas dan terasa baru saja terjadi?

Bapak Tua hanya tersenyum dan terus mendayung.