Photo by Przemyslaw Reinfus on Unsplash
Agustus, Memaknai Merdeka (7)
Pada Senin yang ke sekian, burung pipit tak lagi menemani rutinitas pagi. Segalanya masih sama. Lantai yang kusam, kasur lapuk, tembok penuh bekas stiker dan paku, lemari plastik empat tingkat yang salah satu tingkatannya sudah tak bisa digunakan karena bolong. Tapi, kehilangan burung pipit yang setiap pagi menyapamu telah mengubah segalanya. Aku pun menguatkan tekat untuk pindah dari kos sampah ini.
Saat ini juga, di hari Senin yang pertama di bulan Agustus, aku mengetuk kamar Ibu Kos.
Ibu Kos membuka pintu dengan mata yang belum sepenuhnya terbuka. Ia menguap sebelum kemudian mengatakan, “Ada apa?”
“Nanti malam saya pindah kos, bu,” kataku.
Ibu Kos melotot. Ia urungkan untuk menguap kedua kalinya.
“Apa katamu? Nanti malam?”
Aku mengangguk. Melihat jawabanku, ia mengomel, “Enak saja pindah seenak jidat. One month notice dong. Kalau tiba-tiba gini kan nggak enak di saya.”
“Saya mau pindah, bukan mau resign. Lagian, saya kan nggak minta Ibu buat mengemasi barang saya. Jadi, kenapa nggak enaknya ada di Ibu?”
“Ya nggak enaklah. Kan kamarnya jadi kosong. Banyak lho, yang pengin ngekos di sini, tapi saya tolak-tolakin karena penuh. Sembarangan kamu ini!”
“Kos buluk aja banyak gaya,” lirihku.
“Apa kamu bilang?” tanyanya, dengan mata yang melotot semakin lebar. Urat matanya benar-benar akan keluar sebentar lagi.
“Saya pergi dulu. Ada rapat pagi ini.”
—
Klara menjadi orang pertama yang mendengar kejadian tadi pagi. Seperti dugaanku, ia mengomeliku.
“Gila lo ya. Emang udah tahu mau pindah ke mana?”
Aku menggeleng. “Gue ke kos lo dulu ya,” pintaku.
“Nggak mau. Barang lo kan banyak banget. Nggak akan muat di kamar gue.”
“Nggak papa. Ditaruh luar aja dulu.”
“Sampai?”
Aku menggeleng lagi.
“Nggak!”
Tak, tak, tak…
Suara heels Bu Rara sudah mulai terdengar dan perdebatan pagi itu usai. Seperti biasa, Bu Rara menyapa setiap karyawan sebelum masuk ke ruangannya sendiri. Terakhir, ia tersenyum kepadaku yang tepat berada di depan ruangannya.
Ceklek…
Belum sampai ia menginjakkan kaki di ruangan dengan tulisan account manager itu, aku mendekat.
“Bu, saya nggak enak badan. Boleh saya izin hari ini?” pintaku dengan muka memelas.
“Website copy dan jingle iklan yang kemarin sudah selesai?”
Mampuslah aku. Website copy yang menjemukan itu belum lagi tersentuh. Apalagi jingle sialan dengan revisi tak kunjung tuntas itu.
“Saya sudah titipkan ke Klara, bu. Tinggal poles kok.”
Tak perlu repot melihat ekspresi Klara, ia pasti jengkel mendengar jawabanku tadi. Harus ada yang dikorbankan demi mendapat persetujuan Bu Rara. Tak banyak berpikir, Bu Rara setuju dan memberiku izin untuk pulang.
“Gila lo ya,” bisik Klara kesal. “Tinggal poles apanya. Itu jingle kan revisiannya nggak ada yang bener. Website copy kan juga belum lo apa-apain.”
Aku tersenyum semanis mungkin dan mengambil tas di meja.
“Semangat, Klara,” jawabku kemudian. “Doakan gue dapat kos hari ini juga ya. Kalau nggak dapat, mau nggak mau ya harus di kos lo.”
“Kampret emang!”
“Bye!”
—
Setelah berkeliling sampai sekitar jam 12 siang, aku masih belum menemukan kos yang cocok. Ada-ada saja kamar kos yang kutemui. Kos dengan anjing yang menyalak setiap 5 menit sekali-lah. Kos 2 lantai dengan pijakan kayu yang berderit setiap diinjak-lah. Kos berukuran 3 kali 3 dengan kipas yang mengajak perang-lah. Dan masih banyak lagi.
Aku memutuskan makan siang di sebuah kios mie ayam pinggir jalan. Saat sedang asyik menyeruput mie, aku melihat seorang wanita yang keluar gerbang dengan menenteng koper. Di belakangnya, ada seorang bapak, yang jika dilihat dari bajunya bisa dipastikan merupakan sopir taksi, yang sedang merapikan barang di bagasi. Wanita tadi bersalaman dengan seorang ibu usia 40an.
Kos Putri, begitulah yang tertulis pada gerbang pintu.
Rezeki anak sholeh, batinku.
Wanita tadi telah pergi. Aku pun mendekati sang ibu yang masih berdiri di depan pagar. Kuawali dengan perkenalan singkat, yang siapa pun akan tahu, hanyalah basa-basi. Selanjutnya kuutarakan maksud dan tujuan mendekati si ibu.
“Maaf, kamar yang kosong sudah ada yang depe,” jawab si ibu, yang langsung membuatku lemas.
—
Aku mengemasi barang di kos lama. Kos yang seperti sampah dengan Ibu Kos yang siap melotot sepanjang hari. Pukul 04.50 aku naik taksi menuju kantor, membawa serta barang-barangku itu. Beberapa menit menunggu, akhirnya Klara muncul. Aku pun melambaikan tanganku padanya.
“Udah dapat kosnya?” Aku menggeleng. “Terus?”
“Mau antar lo pulang,” jawabku santai, lalu meminta sopir taksi melaju.
Sesampainya di kos Klara, aku menurunkan seluruh barang dari bagasi.
“Karena gue udah antar lo pulang, sekarang giliran lo kasih tumpangan ke gue ya.”
Klara pun melotot, dan aku tidak peduli.
== Cerita terkait
Kicau Semangat Burung Pipit
== Lainnya dari Agustus, Memaknai Merdeka
1 Merdeka Mendekam
2 Rapuh
3 Jika Aku Seorang Bayi
4 Tawa Lantai Basah
5 Biaya Pendidikan Rena
6 Bila Senin Tak Pernah Ada