Photo by Cody Berg on Unsplash

 

Malam itu, angin bertiup dengan lembut. Cahaya bulan yang memantul dari kolam ikan di halaman rumah tampak menawan dan menyenangkan dinikmati bersama bunyi kecipak air yang timbul dari gerak nakal ikan-ikan kecil. Sebuah sajian malam yang selalu dirasa menyejukkan bagi seorang gadis berselimut abu. Biasanya, pada pukul sepuluh, saat semua penghuni rumah sudah terlelap, ia menyeret kursi di teras ke dekat kolam. Lalu menyeduh cokelat panas dan diletakkannya di pinggiran kolam. Tak pernah lupa, selimut bulu tipis berwarna abu yang tak pernah benar-benar bisa menghalau dingin hingga ia harus menggunakan sweater dan kaos kaki yang tak begitu tebal. Perlengkapan itu sudah cukup baginya untuk menikmati malam yang sendu tanpa harus benar-benar mengempas angin yang berembus.

Baginya, angin adalah teman. Sebagaimana teman dalam hidupnya, ia harus membangun sebuah pagar berongga untuk merasakan sekaligus menarik diri dari sebuah pertemanan. Tarik ulur kehidupan yang dirasanya selalu perlu dilakukan untuk bertahan di dunia ini.

Di balik selimut abu, biasanya ia bergumam lirih hampir berbisik. Menceritakan hal-hal yang terjadi dan segala rasa yang tak mampu diungkapkan kepada siapa pun. Hanya pada malam ia mampu bercerita. Ia sering melihat ikan-ikan kecil bersemangat saat ia mulai menaruh cokelat panas di tepi kolam. Ia lantas berasumsi, ikan-ikan di dalam kolam juga dapat mendengar ceritanya. Seakan mereka menantikan malam dimana bulan bersinar terang dengan dongengan seorang gadis di balik selimut abu. Asumsi itu membuatnya senang dan selalu menantikan malam bercahaya bulan.

Tapi, malam itu lain. Tak ada gadis dengan sweater dan kaos kaki yang meringkuk di balik selimut abu tipis. Tak ada juga cokelat panas di pinggiran kolam. Ikan-ikan kecil di dalam kolam masih bergerak lincah, menggoda gadis di dalam rumah untuk keluar dan menjadi teman seperti malam-malam sebelumnya. Hingga burung pada jam dinding di dalam rumah berkicau sebelas kali, gadis itu tak kunjung keluar. Ikan-ikan kecil itu mulai kesal. Seekor ikan besar menghampiri dan meminta ikan-ikan kecil itu berhenti.

“Tidak. Kami masih menunggu gadis berselimut abu,” kata salah seekor ikan kecil berwarna biru.

“Gadis yang kalian tunggu sudah pergi tadi pagi, setelah badai yang melanda kemarin malam.”

“Badai apa? Bukankah kemarin rumah ini diliputi kebahagiaan? Ada banyak orang berkumpul dan menikmati makanan yang berlimpah. Kita pun kecipratan makanan dari anak-anak di antara mereka.”

“Ada badai yang tak akan kalian pahami meski kuberi tahu, anak-anak.”

Ikan-ikan kecil itu lantas berenang lesu. “Tidak ada lagi yang menceritakan kita dongeng,” kata ikan kecil tadi, diikuti anggukan tanpa semangat dari kawan-kawannya. Beberapa detik kemudian, seekor ikan berwarna merah berhenti.

“Beberapa malam sebelum ada keramaian, bukankah gadis itu bercerita tentang akan adanya badai?”

“Ah, betul. Tentang sekelompok pengacau yang sengaja datang ke pesta untuk menciptakan badai.”

“Siapa? Badai apa? Apa gadis itu pergi untuk melawan badai?”

Saat ikan-ikan kecil dalam kolam sedang asyik menerka-nerka badai apa kiranya yang sengaja didatangkan dalam sebuah pesta, gadis itu sedang termenung di dalam kamar barunya. Menatap gedung-gedung yang menjulang tinggi dan mengasihani jalanan kota yang tak pernah tidur. “Badai tak akan datang ke tempat yang selalu terjaga, bukan?” gumamnya, meyakinkan diri sendiri.

Ia menatap langit dan baru menyadari bahwa bulan bersinar memikat. Terbayang betapa menyenangkan melihat sinarnya berada di antara gerak gemulai air yang disebabkan ikan-ikan kecil di kolam depan rumahnya. “Aku belum mengucapkan selamat tinggal pada ikan-ikan manis itu,” batinnya. Kemudian ia bangkit, menyeduh cokelat panas dan mencari selimut abu di dalam koper yang belum ia bongkar isinya. Tidak butuh waktu lama untuk menemukan selimut abu itu karena hanya berisi beberapa potong kain. Ia hanya membawa setengah dari isi lemari di kamar lamanya. Meski tahu akan menetap cukup lama di kota ini, ia tak merasa perlu membawa banyak barang. Ia hanya perlu rajin mencuci dan memastikannya cukup untuk sirkulasi mingguan.

Berbekal cokelat panas, ia mulai bercerita di balik selimut abu. Suhu dalam kamar barunya tidak begitu dingin sehingga ia tidak perlu mengenakan sweater dan kaos kaki. Ia menatap langit dari balkon apartemen tipe studio yang baru tadi siang, tanpa pikir panjang, ia bayar uang sewa untuk setahun. Udara malam di kota ini tak begitu menyenangkan meski ia berada di ketinggian tak kurang dari 4 meter dari jalanan berpolusi. Ia tak ambil pusing. Setiap keputusan harus dijalani dengan penuh tanggung jawab.

Ia membayangkan titik-titik bintang terang yang menemani bulan di hamparan langit adalah ikan-ikan kecil yang sedang ceria berenang menanti dongeng sebelum tidur. “Maaf, ya, aku tidak sempat berpamitan dengan kalian. Aku tidak menyangka, badai yang pernah kuceritakan pada kalian rupanya datang lebih cepat,” tuturnya sambil meraih cangkir di hadapannya. Sejenak kemudian ia berhenti untuk menyesap isinya. Merasakan aroma lembut yang selalu mampu menenangkan.

“Kalian pasti ingat tentang orang-orang yang kemarin datang berbondong-bondong ke rumahku. Masing-masing dari mereka membawa badai yang disimpan di dalam tas. Mereka mengobrol panjang lebar dengan kami, menunggu waktu yang tepat untuk bersama-sama mengeluarkan badai yang sudah dipersiapkan. Saat waktunya tepat, lalu mereka mengeluarkan badai-badai itu secara bersamaan, mempersembahkannya untuk keluarga kami. Badai-badai itu dibungkus sesuatu yang berkilau seperti emas. Ibu terbutakan oleh kilaunya. Ia tidak peduli peringatanku beberapa jam yang lalu: Jangan terkecoh pada sesuatu yang datang secara tiba-tiba. Ibu bisa kehilangan lebih banyak daripada yang Ibu dapatkan. Badai berkilau emas itu membentuk keputusan yang begitu besar yang akan mengubah hidup kami. Aku tidak siap akan perubahan itu dan mungkin ini saat yang tepat untuk menarik diri. Mengulur kehidupan dimana aku tidak bisa membedakan antara ‘sendiri’ dan ‘bersama’ bisa jadi hal yang amat bodoh. Sama saja aku mengulur semua hidupku untuk direnggut, koma dan tinggal menunggu waktu untuk benar-benar mati. Tetap saja, meninggalkan rumah adalah hal yang sangat sulit. Tapi lebih sulit lagi untuk tetap tinggal. Dengan berbagai macam pertimbangan, aku memutuskan untuk membeli tiket terbang ke ibukota dan belum berencana untuk kembali.

Aku tahu, menghindar dari satu perubahan untuk perubahan yang lain sepertinya akan sangat berat dilalui. Nyatanya, aku sudah menginjak tempat ini dan harus bertahan. Hidup yang dulunya berjalan damai di kota paling layak huni, mungkin akan lebih bergejolak di kota paling tidak layak huni. Dalam bayanganku, bahkan kota paling tidak layak huni pun jadi sangat layak untuk dihuni pengecut sepertiku. Aku bisa bersembunyi dengan mudah di tengah hiruk-pikuk kota ini, di sudut mana pun.”

Ia menghabiskan cokelat yang sudah hampir dingin.

“Beberapa bulan lagi aku akan pulang untuk menengok kalian dan menceritakan hal-hal yang kualami di kota ini.”