Photo by the blowup on Unsplash
Aku Alana. Gadis dua puluh lima tahun yang tak suka perayaan. Aku heran pada orang-orang yang suka melakukan perayaan. Entah perayaan ulang tahun, hari jadi, hari berkabung, sampai hari dimana mereka pertama kali dipermalukan. Apa yang sebenarnya mereka rayakan pada hari ulang tahun? Bertambahnya usia? Omong kosong. Kasihan sekali hari-hari sebelum dan setelah hari itu, yang tak pernah dirayakan sebagai bagian dari bertambahnya usia. Mereka kan tidak mungkin langsung bertambah usia setahun tanpa bertambah sehari, dua hari, tiga minggu, empat bulan, dan seterusnya hingga menjadi satu tahun. Mereka justru menyia-nyiakan hari-hari itu dengan makan makanan sampah, bermalas-malasan, dan mengeluh. Lalu tiba-tiba merayakan bertambahnya usia seolah telah melakukan banyak hal berharga setahun belakangan. Padahal nihil. Melakukan perayaan ulang tahun sekali setiap tahunnya adalah sebuah pengkhianatan atas hari-hari sebelumnya.
Ada lagi hari jadi. Apa yang pantas dirayakan oleh sepasang kekasih atas pencapaian kebersamaan mereka selama kurun waktu tertentu? Tidak ada. Sama sekali tidak ada. Bahkan perayaan itu tak mampu menjamin hubungan mereka akan terus bertumbuh. Lucunya, aku pernah diputuskan karena tak bisa mengingat dan merayakan itu. Konyol. Syukurlah, hubungan itu sudah berakhir.
Ada lagi perayaan yang paling membuatku tak habis pikir. Perayaan tahun baru yang membuat banyak orang berdesak-desakan di suatu konser atau sekadar berkumpul dengan siapa saja. Aku tidak paham esensi yang didapat dari melakukan hal yang teramat sia-sia itu. Merayakan bersama keluarga masih bisa kumaklumi. Tapi merayakan dengan siapa saja itu konyol. Supaya apa? Supaya dianggap punya banyak teman? Entahlah.
“Tahun baru nggak kemana-mana, Al?” tanya tetanggaku pada malam tahun baru tahun kemarin. Namanya Kina. Usianya dua tahun di bawahku. Tetangga selalu mengira kami seumuran karena wajahnya terlihat dua tahun lebih tua. Terlebih, tinggi kami tak terpaut banyak. Dia lebih tinggi dua sampai lima sentimeter. Tak mungkin lebih dari itu, kurasa.
“Di rumah. Ngapain juga keluar. Cuma nambah ruwet jalanan aja. Nggak ada gunanya,” jawabku sinis.
“Nggak pernah berubah kamu ya. Bilang aja nggak punya teman,” ejeknya. “Yaudah. Aku pergi dulu ya. Nanti aku ceritain deh serunya merayakan tahun baru di luar rumah.”
“Nggak perlu. Udah kenyang.”
Tiga tahun terakhir, aku dan Kina jadi dekat. Aku lupa karena apa. Seingatku, karena kami selalu disandingkan sebagai pembawa acara di setiap kegiatan warga. Aku juga heran kenapa harus aku. Aku yang menolak segala bentuk perayaan harus bercuap-cuap dalam perayaan yang dilakukan warga. Aku sering mengomel kepada Ibu tentang hal itu. Berharap Ibu bisa menyampaikan keluh kesahku pada Bu RT dan aku diganti dengan orang lain. Tapi selalu gagal. Ibu justru balik mengomeli aku.
“Kamu itu harus sering nongol di tengah warga. Dengan menjadi pembawa acara di setiap kegiatan, kamu punya kontribusi di lingkungan tempat tinggalmu. Jangan melulu memikirkan diri sendiri. Tak selamanya kamu bisa mengurung diri di rumah. Ada kalanya kamu membutuhkan mereka.”
“Tapi aku nggak suka terlibat dalam perayaan-perayaan begitu, Bu,” rengekku.
“Alana, hidup ini penuh dengan perayaan. Tak bisa terhindarkan. Suka atau tidak, kamu harus bisa beradaptasi!”
Aku mendengus kesal. Perdebatan dengan Ibu selalu berujung pada perihal adaptasi yang bagiku hanya dilakukan orang tak berprinsip. Orang Jawa menyebutnya elon. Mengikuti arus. “Apa bedanya beradaptasi dengan memenuhi tuntutan masyarakat?”
“Hidup saja di hutan kalau tidak mau ada tuntutan!” pungkasnya.
Begitulah akhir dari setiap omelanku. Berujung pada perdebatan yang tak pernah bisa kumenangkan. Ibu selalu menang dengan segala rapalan budaya bermasyarakat. Ia selalu bertindak sesuai kelaziman yang sifatnya kolektif. Tak peduli benar atau salah, ia selalu mengiyakan tuntunan perilaku di masyarakat yang entah diambil dari kitab apa. Ibu selalu bersikeras bahwa mengikuti arus adalah cara terbaik untuk bertahan hidup. Termasuk mengikuti arus perayaan-perayaan yang tak beresensi.
Bagiku, tak ada hari yang pantas dirayakan karena semua hari sama saja. Semua hari menuntut kita untuk bekerja dan terus bekerja. Satu-satunya yang pantas dirayakan adalah malam. Ia tak pernah menuntutku untuk melakukan ini itu dan selalu ada pilihan untuk merayakan kebebasan. Jangan bayangkan kebebasan dengan sebuah perayaan pesta di suatu bar mewah di tengah kota atau acara barbeque bersama geng atau bahkan menikmati gelegar petasan. Perayaan yang kumaksud adalah membebaskan pikiran dari hiruk pikuk dunia dan mengistirahatkannya untuk sekadar menyadari hal-hal yang berlangsung di siang hari. Dan saat itulah aku sadar, hari-hariku tak pernah lebih dari sekadar bekerja. Begitulah keseharianku. Monoton tanpa irama. Aku kesal dan akhirnya tidur.
Alih-alih tidur dan mimpi indah, aku justru diganggu oleh petasan yang berbondong-bondong berteriak di langit malam yang damai. Bukan hanya satu atau dua bunyi. Ada sekitar belasan atau bahkan puluhan. Dan itu membuatku tak bisa tidur. Aku benci malam dimana semua orang menyalakan petasan demi sebuah perayaan pergantian tahun. Rasanya aku benar-benar ingin tinggal di hutan seperti kata Ibu. Sepertinya menarik. Tak akan ada perayaan. Hanya ada kesunyian dan kedamaian. Tapi bagaimana mungkin aku bisa tinggal di hutan yang tidak ada mi instan?
Pintu kamarku dibuka dari luar. Wajah Mas Fadil yang konyol menyembul melalui celah pintu dan membuatku semakin jengkel.
“Hei, sopanlah sedikit! Apa masyarakat mengajarkanmu untuk membuka pintu wanita tanpa ijin?”
Matanya menyipit. Bibirnya mengatup tipis. “Baiklah, adikku sayang. Akan kuulangi dengan mengetuk pintu,” ucapnya sambil menutup pintu lalu mengetuk sebanyak tiga ketukan dengan interval sama yang justru membuatku ingin membunuhnya. Jengkel tidak dijawab, ia membuka pintunya lagi dengan lebih lebar daripada yang pertama. “Apa masyarakat mengajarkanmu untuk mendiamkan orang yang mengetuk pintu?”
“Aku tidak hidup di tengah ajaran dan tuntutan masyarakat. Pergilah! Aku mau tidur.”
“Nona cantik ini berulah lagi,” ucapnya jengkel. “Kamu bisa tidur di tengah suara petasan dan teriakan begini? Mending gabung sama teman-temanku di luar. Anak muda kok tiduran aja di malam tahun baru.”
“Mau muda, mau tua, aku nggak ada urusan sama tahun baru. Tahun baru atau tahun lama, hidupku masih gini-gini aja, nggak bakal ada yang berubah drastis.”
“Siapa tahu temanku ada yang nyantol sama kamu. Biar hidupmu berubah jadi agak berwarna dikit, nggak warna tembok kamar mulu.”
“Udah, sana pergi. Aku nggak butuh cowok. Aku bisa mewarnai hidupku sendiri.”
“Kumat deh egonya. Yaudah, kutunggu di luar ya. Siapa tahu berubah pikiran.”
Nggak akan, batinku. Tapi aku mengangguk supaya Mas Fadil cepat pergi.
Malam ini akan jadi malam yang panjang karena tak akan semudah itu untuk tidur di tengah berisiknya dunia. Beberapa temanku masih mengirim pesan berusaha mengajakku pergi keluar dan tidak kujawab. Sekilas aku dengar obrolan konyol Mas Fadil bersama teman-temannya tentang hal-hal memalukan yang terjadi di tahun kemarin. Lalu mereka tertawa dan melanjutkan dengan kekonyolan lain. Dari suara tawanya, ada sekitar empat perempuan dan lima laki-laki, termasuk Mas Fadil. Mereka akan bertahan membicarakan hal-hal konyol seperti itu sampai jam tiga. Lalu beberapa teman laki-laki Mas Fadil akan menginap dan beberapa lainnya pulang entah kemana. Kalau bukan malam tahun baru, mereka pasti sudah diusir Ayah sejak jam sembilan tadi. Tapi malam ini berbeda. Malam tahun baru adalah malam dimana Ayah dan Ibu selalu pergi ke rumah Budhe Sarah, kakak tertua Ibu. Mereka punya pesta sendiri yang berisi keluarga besar. Tentu saja tanpa anak-anak muda seperti aku dan Mas Fadil karena pasti sangat membosankan bagi anak seusia kami untuk ikut tertawa di tengah lawakan garing generasi X dan baby boomers.
“Kalian boleh membiarkan tamu sampai jam berapapun. Boleh juga kalau ada yang menginap. Tetap jaga batasan. Tak boleh ada miras apalagi pesta seks. Ayah percayakan rumah ini sama kalian. Ingat, jangan hancurkan sebuah kepercayaan!” pesan Ayah setiap malam tahun baru, sebelum pergi ke rumah Budhe Sarah.
Aku tidak bisa mengatakannya sebagai kesempatan karena kesempatan hanya milik orang yang menginginkan sesuatu. Mas Fadil secara penuh mengambil kesempatan itu. Aku hanya memposisikan diri sebagai wasit yang mengontrol jalannya perkongkoan mereka. Tapi aku tak pernah sekalipun mengeluarkan kartu kuning karena Mas Fadil dan teman-temannya tak pernah lebih dari sekadar nongkrong, mengobrol, dan barbeque. Kenyataan bahwa obrolan mereka yang tak kunjung berakhir selalu saja membuatku jengkel. Ingin sekali aku mengeluarkan kartu merah supaya mereka semua pulang dan membiarkanku tidur dengan nyenyak. Tapi rasanya tidak adil dan begitu egois kalau aku sampai mengganggu kesenangan orang lain hanya karena aku tidak menyukainya. Akhirnya, aku baru bisa tidur setelah pukul tiga, saat teman-teman Mas Fadil sudah pulang atau beberapa di antaranya memilih menginap. Untungnya, teman perempuannya tidak pernah ada yang menginap. Rasanya aku tak begitu sudi berbagi kasur dengan orang yang membuatku tak bisa tidur nyenyak dengan cepat.
***
Hari ini aku tidak mau keluar rumah. Aku malas bertemu Kina. Dia pasti akan mencecarku dengan pertanyaan yang sudah dia tahu pasti jawabannya. ‘Semalam kemana?’. Lalu dia akan bercerita panjang lebar tentang perayaan malam tahun barunya. Selama tiga tahun berturut-turut, kesimpulan dari perayaan yang dia ceritakan adalah ketidakbermanfaatan. Perayaan yang buang-buang waktu, tenaga, dan uang. Dan hari ini aku tidak mau mendengarkan ceritanya yang tidak bermanfaat itu.
Meski sudah berusaha menghindar, Kina justru datang. Dia sudah berada di kamarku saat aku kembali dari kamar mandi. Aku lupa bahwa dia bisa masuk kapan saja karena Ibu pasti mempersilakannya masuk ke kamar. Buruknya, aku belum mempersiapkan jurus pengelakan apapun terhadap ceritanya.
“Baru jam sembilan. Tumben udah mandi.”
Kalimat sapaan yang tidak kuharapkan. Tapi masih lebih baik daripada cecaran pertanyaan tentang malam tahun baru.
“Kok tumben, nggak nanya semalam aku kemana?”
Dia bilang sudah tahu jawabannya. Baguslah. Aku tak perlu repot menjawab seperti tahun-tahun sebelumnya. Tiga tahun belakangan dia menanyakan hal yang sebenarnya sudah dia tahu. Bodohnya, aku selalu menjawab dan ia tidak bosan menerima jawaban yang sama berulang kali.
“Al, kamu kenapa sih nggak pernah mau ikut merayakan tahun baru?” tanyanya kemudian.
“Kamu sendiri kenapa nggak mau panggil aku ‘mbak’? Aku ini dua tahun lebih tua daripada kamu lho,” sahutku santai.
“Lebih nyaman aja.”
“Yaudah, sama. Aku juga lebih nyaman aja nggak merayakan apapun.”