Photo by Headway on Unsplash

 

Tulisan ini bermula dari sebuah akun Instagram yang melakukan repost terhadap unggahan tiktok seorang ASN yang sedang berbangga memamerkan pengambilan sumpah jabatan. Tampak seorang perempuan menggunakan kacamata hitam bertuliskan “100%” pada lensa kanan dan “PNS” pada lensa kiri, diikuti beberapa pose bahagia lain dengan menggunakan kacamata yang sama. Dalam postingan tersebut, kurang lebih berbunyi: “biarin dibilang norak, soalnya susah dapetinnya…”

Seperti yang selalu terjadi di dunia per-media-sosial-an, komentar warganet yang maha benar menjadi daya tarik tersendiri dan seringkali menggelikan.

 

 

Nah, beberapa komentar di atas saya rangkum menjadi beberapa poin di bawah ini.

 

PNS Bukan Profesi untuk Anak Muda

“Untuk anak muda Hidup itu memang pilihan, kalau bisa jangan pilih jadi ASN.”

Komentar tersebut mungkin muncul dari golongan anak muda yang merasa superior dan harus melakukan abcde yang wah untuk dibilang keren. Bisa juga muncul dari golongan anak muda si paling idealis yang menolak melakukan hal-hal yang dianggap ‘jelek’ di masyarakat. Komentar seperti ini mungkin datang dari mereka yang berpikir bahwa bekerja di sektor swasta dan wirausaha lebih keren dan menantang. Kalau penihilan profesi ASN dalam pilihan pekerjaan anak muda ini terjadi karena persepsi buruk ASN di masyarakat, maka pelayanan publik di Indonesia mungkin tidak akan bergerak ke arah yang lebih baik. Memang perbaikan kualitas pelayanan publik tak bisa hanya dibebankan pada anak muda, tapi tes CPNS mensyaratkan usia maksimal 35 tahun. Jadi, sebagian besar harapan perbaikan kualitas itu memang diletakkan pada pundak anak muda.

 

Mendingan Kerja Jadi …

Nah, komentar pendiskreditan profesi PNS ini mungkin akan diikuti anggapan bahwa pegawai swasta dan wirausaha lebih baik daripada jadi PNS. Yang lebih lucu, kadang pendiskreditan ini didasari pada asumsi bahwa ‘PNS adalah pelayan rakyat yang lebih rendah dari rakyat.’ Baiklah. Jadi, pekerjaan apa yang memposisikan seseorang lebih tinggi dari siapa pun? Kalau berdasarkan hierarki formal kasat mata, mungkin jawabannya adalah presiden. Tapi tidak semua orang harus jadi presiden. Kalau semua orang jadi presiden, lucu dong.

‘Presiden melayani rakyat. Dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat’

Nah, kalau ada kalimat di atas, maka presiden tak ubahnya PNS yang melayani rakyat dan rakyat diposisikan lebih tinggi daripada presiden. Tapi, rakyat itu siapa? Abstrak. Rakyat butuh kerja buat menghidupi diri sendiri dan keluarganya. Presiden nggak akan sanggup menghidupi rakyat yang sepenuhnya rakyat, yang nggak kerja, yang hanya jadi rakyat, tanpa label pekerjaan apa pun.

Lalu, opsi pekerjaan apa yang dinilai lebih baik dari PNS si pelayan rakyat ini? Jawabannya bisa pegawai swasta atau wirausaha. Apa iya lebih baik? Belum tentu. Swasta juga bukan orang suci yang tanpa cela. Penyelewengan juga terjadi di swasta. Seleksi ‘orang dalam’ misalnya. Di swasta lebih kuat dan sulit dilawan. Nggak kayak di pemerintah, yang bisa dipermasalahkan karena menggunakan anggaran milik publik. Penyelewengan di swasta lebih susah untuk dipermasalahkan karena ada modal-modal individu pemegang kuasa yang bermain di situ. Kalau PNS sering dinyinyirin korupsi waktu, pegawai swasta juga ada kok yang keluyuran mejeng di jam kerja. Tapi nggak ada yang nyinyirin karena lagi-lagi rakyat merasa nggak ada uang rakyat di dalamnya. Padahal semua uang yang berputar di masyarakat, termasuk di swasya adalah dari rakyat juga. Properti dan operasional swasta selalu berkaitan dengan rakyat karena ia menggunakan sumber daya milik publik yang lebih banyak daripada individu lainnya. Kebayang nggak? Daya listrik satu gedung swasta di kawasan SCBD bisa menerangi berapa rumah di Indonesia bagian timur, lengkap beserta ongkos logistik?

Wirausaha juga bukan tanpa tuan. Memang benar pengusaha tidak tunduk pada siapa pun. Tapi ia tetap tunduk pada permintaan pasar. Bagaimana pun, pengusaha butuh berjuang untuk tetap bertahan dan dapat keuntungan. Berwirausaha bukan malaikat yang bisa menyelamatkan kita dari keterpurukan dan kemiskinan. Ada banyak hal yang mungkin perlu dikorbankan untuk mencapai puncak. Bukan tidak mungkin, puncak dicapai dengan menjegal hal-hal yang menghalangi. Menghindari pajak, menggaji karyawan tidak sesuai porsi, melanggar perizinan, menyuap instansi pemerintah, melanggar hak-hak konsumen, dan masih banyak lagi alasan untuk memperbesar keuntungan.

Apa lagi yang berkomentar lebih baik kerja di BUMN. Tolong dipertimbangkan ulang. Pegawai BUMN adalah bentuk lain dari PNS karena keduanya berada di bawah naungan dan sokongan besar pemerintah. Korupsi dan penyelewengan masih kerap terjadi.

Semua pekerjaan punya risikonya masing-masing dan setiap orang berhak mengkontekstualisasikannya sesuai keinginan dan kebutuhan masing-masing. Tak ada yang lebih superior karena segalanya jalan beriringan satu sama lain.

 

PNS : Pagi Nunggu Siang

Akronim ini mungkin sering kita dengar dalam guyonan sehari-hari mengenai PNS. Dalam unggahan yang saya sematkan di awal, terdapat dominasi komentar bernada sejenis. Salah satunya adalah :

“PNS : Pegawai Nitip abSen. Klo udah absen jg udah mau kemana2 jg bebas. Keliatan nanti kerjanya cuman liatin tiktok aja”

Tidak bisa dibilang salah, namun juga tidak sepenuhnya benar. Di lingkungan pemerintahan, kita pasti akan menemui pegawai-pegawai yang demikian. Pagi isi presensi, duduk, sore presensi pulang, repeat. Di sela kebosanan aktivitas duduk di kantor ini, bisa diselipkan ngobrol, nonton youtube, main medsos, makan gorengan, tidur, main zuma, dan aktivitas lainnya yang tidak produktif. Tapi, apakah semua pegawai pemerintah seperti itu? Jawabannya adalah tidak. Akronim PNS tersebut mungkin lebih banyak dilabelkan pada angkatan-angkatan lama, atau baheula, atau bisa juga dikatakan zaman batu. Tak sedikit juga pegawai yang bekerja qeras bagai quda dengan segambreng target kinerja dan lembur cuma-cuma. Nah, pendapat ini akan mudah sekali dibantahkan dengan kualitas layanan pemerintah yang masih kacau. Kacaunya kualitas ini berkaitan erat dengan poin di bawah nih.

 

SDM Berkualitas: Sebuah Harapan

Dari banyak komentar negatif, masih ada kok yang positif. Salah satunya adalah

semoga setelah lolos jadi yg terbaik output kinerja juga yang terbaik sehingga pelayanan public juga ikut meningkat. Jangan instansi yg diisi putra putri terbaik bangsa tidak mampu menghasilkan kinerja berkelas tinggi.

Sebuah kalimat motivasi yang adem banget bukan? Tapi, kenyataannya, hal itu memang sulit direalisasikan. Seperti kita ketahui, Kemenpanrb merilis komposisi ASN yang dikelompokkan menjadi empat, yaitu star, workhorse, trainee, dan deadwood. Dilansir Kompas, Bima Haria Wibisana selaku plt. Kepala BKN mengatakan bahwa pegawai star adalah pegawai dengan kompetensi dan performa tinggi. Workhorse adalah pegawai berkompetensi tinggi tapi menampilkan performa yang rendah. Trainee adalah kebalikan dari workhorse, yaitu performa tinggi dengan kompetensi rendah. Nah, deadwood, seperti namanya, layaknya kayu mati yang tidak berperan apa pun. Kompetensi dan performanya rendah.

Sudah tahu komposisinya seperti apa? Hanya 19,82% yang termasuk dalam kelompok star, sedangkan deadwood mencapai 35%, dan sisanya masuk dalam kelompok workhorse dan trainee. Artinya, kinerja berkelas tinggi ini pada akhirnya akan dibebankan pada tipe star yang hanya seperlima dari komposisi ASN secara keseluruhan.

Yakinkah Anda menaruh harapan pada mereka?

Kalau 19,82% ini didominasi pejabat pengambil keputusan sih mungkin masih ada harapan. Tapi, kalau 19,82% ini didominasi para PNS bau kencur yang mengerjakan hulu hilirnya organisasi sih terlalu mengadi-ngadi ya. Yang ada, belum sampai menjadi pengambil keputusan, mereka sudah berada pada titik jenuh dan bergabung bersama workhorse, yang harus dicambuk dulu untuk bergerak. Harus menerima laporan warga dulu baru bekerja. Bisa jadi, justru terjun ke tingkat dead wood karena merasa ‘untuk apa kerja keras jadi star kalau jadi deadwood saja sudah digaji dan dipertahankan, yang penting pangkat terus naik, gaji terus bertambah.”

Memangnya salah berharap pada PNS muda? Tentu tidak dong. Tapi, lebih baik jangan. Cukupkan PNS berkinerja dengan optimal dan tidak mengikuti arus utama saja. Semoga bisa jadi langkah kecil memutus rantai dead wood dan membentuk barisan baru yang lebih solid. Langkah kecil ya, bukan proyek Roro Jonggrang. Nah, tapi langkah kecil tak akan menjadi gerakan besar kalau anak muda tak mau nyemplung di dunia birokrasi ini. Sampai kapan 19,82% bertahan melawan dominasi kroni 35%?

Ingat, PNS atau bukan, berkinerja dalam pekerjaan adalah suatu kewajiban.

 

Beban Negara

PNS adalah beban negara merupakan pendapat lain yang mendominasi kolom komentar. Tidak salah sih karena PNS digaji dari anggaran negara atau daerah yang sebagian besarnya berasal dari pajak.  Mengutip CNBC, belanja pegawai mengambil porsi 15% dari total APBN, hampir sama dengan anggaran yang digunakan untuk membayar utang negara. Menkeu, Sri Mulyani, juga sempat menyatakan kesal dalam Rakornas Kemendagri pada 16 Juli 2022 lantaran APBD didominasi untuk belanja pegawai. Mungkin, belanja pegawai yang demikian tebalnya itu menjadi tidak sia-sia kalau saja ada pembenahan SDM di dalam instansi pemerintah. Salah satunya adalah membenahi para kayu mati yang masih teronggok lesu di dalamnya. Bila memang kayu-kayu mati itu tidak bisa dihidupkan kembali, baik melalui pelatihan atau pembentukan motivasi kerja atau upaya lainnya, lebih baik diganti dengan tunas baru yang lebih berkualitas. Bagaimanapun, belanja barang dan modal tidak akan berarti tanpa pengelolaan SDM yang berkualitas.

 

Nah, itu tadi sekelumit ringkasan saya setelah menyelami dunia pikiran warganet yang maha benar. Setiap pemikiran adalah benar selagi ia menilainya benar. Jadi, mau dibantah seribu kali pun, ia akan mempertahankan pemikiran tersebut. Perbedaan sudut pandang tak serta merta membuat seseorang menjadi yang paling benar. Bagaimana pun, setiap orang punya cara masing-masing dalam menyampaikan dan merayakan kebahagiaan.

 

Tambahan :
Latar belakang penulis sebagai ASN layak dipertimbangkan untuk menilai kecenderungan subjektivitas informasi.

 

Referensi :

//money.kompas.com/read/2022/07/21/142000926/35-persen-asn-di-ri-kinerjanya-rendah-bkn–seperti-kayu-mati-karena-malas

//www.cnbcindonesia.com/news/20220202080107-4-312159/segini-uang-negara-habis-tiap-tahun-buat-bayar-pns

//www.cnnindonesia.com/ekonomi/20220616194909-532-809955/sri-mulyani-kesal-anggaran-pemda-habis-untuk-gaji-pns