Cerita dimulai persis seperti judulnya. Seorang kakek tua, Alan, melompat dari jendela rumah jompo dan dinyatakan hilang. Ia tak tertarik merayakan ulang tahunnya yang ke-seratus. ‘Tidak ada kata terlambat untuk memulai apa pun…’, begitu yang tertulis di sampul buku. Bahkan saat usia Alan sudah 100 tahun, ia bisa memulai sesuatu dengan berjalan ke stasiun dengan hanya bersandal dan kemudian menyeret koper -curian- yang mulanya ia pikir mungkin saja berisi sepatu dan bisa ia pakai. Rupanya, koper itu berisi uang lima puluh juta krona. Koper itu membuatnya melanglang buana, bertemu teman baru, dan membunuh orang. Hilangnya pria tua berusia 100 tahun menjadi headline di berbagai surat kabar dan membuat Alan dan teman-teman barunya harus berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya.
Alur cerita maju mundur, yaitu pengembaraan Kakek Allan dan Allan Kecil. Ayah Allan, seorang revolusioner kiri, diceritakan meninggal di bawah kekuasaan Lenin karena mempertahankan lahan yang baru dibelinya atas nama pribadi. “Apa pun yang akan terjadi, terjadilah”, pesan ibunya saat ayahnya meninggal. Tak lama, ibu Allan pun meninggal. Dia menggumam ‘dadah ibu’ sambil melihat mayat ibunya dibawa. Pesan ibunya tertanam betul. Bahkan, saat percobaan bomnya menghancurkan mobil beserta isinya, ia hanya bergumam ‘ngapain kau di tambang batuku?’.
Apa pun yang akan terjadi, terjadilah
Sejak kecil, Allan tak tertarik terhadap apa pun kecuali makanan, vodka, dan bom. Ia paling tidak tertarik pada politik, tapi jalan hidupnya menuntun ke dalam pusaran politik. Perjalanannya dimulai saat ia tergabung dalam kelompok republikan Spanyol yang mengebom jembatan-jembatan. Beralih ke pihak musuh, ia berteman dengan Jenderal Franco dan mendapat jaminan keamanan pergi ke New York. Di sana, ia berteman dengan Harry Truman karena ide briliannya mengenai bom di suatu rapat. Setelah itu, ia bertemu dengan Nyonya Kuomintang, Nyonya Mao Tse-tung, revolusioner kiri di Iran, pendeta Fergusson, Si Bukan Albert Einstein yang tak bisa membedakan kiri dan kanan, Erlander, Churchill, Stalin, Kim Il Sung, Kim Jong Il kecil, dan Mao Tse-tung.
Setelah itu, dengan uang bantuan asing dari Truman, ia dan Si Bukan Albert Einstein -Herbert Einstein- memutuskan liburan ke Bali. Di negeri ini, uang bisa membeli segalanya. Herbert menikah dengan Ni Wayan Laksmi -Amanda-, gadis Sudra di Bali. Dengan tingkat kebodohan yang sama dan bermodalkan uang bantuan asing itu, mereka memiliki segalanya. Kurang lebih lima belas tahun ia menikmati apa pun, termasuk meletusnya Gunung Agung di Bali dan pergolakan komunis di ibukota. Setelah itu Allan pergi ke Paris, menemani Amanda yang bodoh menjadi dubes di sana. Ia dengan mudah mengubah segala kalimat bodoh yang dilontarkan Amanda agar kebodohan Amanda tidak menimbulkan kekacauan. Kemudian Allan kembali ke sisi Amerika dengan bergabung di CIA sebagai agen rahasia yang merekrut mata-mata dari Uni Soviet.
Setelah perjalanan yang begitu panjang, Allan berakhir di tempat di mana ia memulai segalanya. Di kampung halamannya. Seolah mengulang masa lalu sekaligus menuai apa yang pernah dilakukannya saat kecil dahulu, Allan tak sengaja meledakkan rumahnya dengan bom yang ia ciptakan sendiri. Begitulah akhirnya ia mendarat di rumah jompo dan bertemu dengan Direktur … yang selalu melarangnya minum vodka. Allan tak bisa menghalangi keinginannya. Ia dan vodka sudah seperti hidup dan mati. Ia sering kabur untuk bisa mendapatkan vodka dan menyembunyikannya di kamar, yang seringkali ketahuan Direktur … entah bagaimana caranya. Puncaknya, ia secara tiba-tiba memilih tidak perlu menghadiri perayaan ulang tahunnya ke-seratus dan kabur.
Dalam perjalanannya bersama koper berisi lima ratus juta krona, ia bertemu banyak teman yang sama seperti dirinya, tak punya siapa-siapa. Pada setiap teman baru yang ditemuinya, rahasia mengenai koper berisi lima ratus juta krona -yang berkurang untuk keperluan pengembaraan- terpaksa harus dibeberkan. Jadilah Alan dan teman-teman barunya itu melanglang buana, berpindah dari tempat satu ke tempat lainnya karena mereka berstatus buron. Para buron ini menyulitkan polisi dari awal pencarian hingga akhir penyelidikan. Jumlah buron yang bersama Allan semakin bertambah dan polisi tak bisa menemukan kaitan antara mereka. Asumsi bahwa Allan diculik, sampai Allan mencuri, semua ada.
Setelah berpindah ke beberapa tempat, selain bersama manusia, akhirnya ia harus mengembara bersama seekor gajah dan anjing. Hal itu membuat pengembaraannya menjadi tidak mudah, mengingat statusnya sebagai buron yang harus bersembunyi. Keputusan untuk terbang ke luar negeri pun tak berjalan mulus. Kehadiran gajah di dalam pesawat membuatnya harus mengikuti prosedur seperti pengecekan kesehatan hewan dan prosedur lainnya. Tak mungkin melakukannya, mengingat kepemilikan gajah itu tidak jelas. Namun, ada satu negara yang memberikan kebebasan kepada siapa pun selagi ia memiliki uang. Dengan uang berlimpah di koper, Allan dan komplotannya pun pergi ke negara itu dan dapat membeli apa pun, tak peduli status buron dan kepemilikan atau kesehatan gajah mereka.
Buku ini lucu. Bayangkan saja, seorang kakek tua berusia seratus tahun, yang bisa bertahan jalan satu kilometer saja rasanya sudah luar biasa, kabur jauh dan membuat polisi pusing. Saya membayangkan betapa kakek tua itu menunjukkan wajah tidak berdosa dan seolah tidak melakukan apa pun selagi polisi sibuk mencari dan menyelidiki. Begitulah Allan. Apa pun yang terjadi, terjadilah. Tak peduli seberapa genting, ia bisa melaluinya seolah tak terjadi apa-apa.
Nampaknya, kita perlu sedikit saja mencontoh bagaimana Allan menjalani kehidupannya dengan amat santai. Berpikir secukupnya, tanpa terburu-buru mengambil tindakan, dan tetap menyelesaikan masalah tanpa emosional.