Photo by Clever Visuals on Unsplash

MALAM selalu mampu membuatku tenang. Tak ada kicauan manusia yang seringkali terkesan mengusik. Tak ada decitan bunyi pintu dibuka dan ditutup. Lalu lalang kendaraan yang lewat di jalan depan rumah pun terasa tenang dan tak menggebu. Tak menuntut seperti di siang hari. Deru kendaraan yang terdengar sekilas-sekilas menimbulkan rangkaian bunyi silih berganti. Bagaikan orkestra musik merdu yang menemaniku di tengah malam yang sepi. Simfoni itu menjernihkan pikiranku dan menuntun jariku menari dengan amat gemulai di atas papan ketik. Alunannya yang jernih seolah mengatakan Tak ada yang mengganggumu. Teruskanlah! Kau pasti mampu menuntaskannya. Aku tak tahu pasti apa yang dimaksud dengan menuntaskan. Rasanya tak seperti menyelesaikan sesuatu dengan sempurna. Ku rasa seperti mengurai benang di dalam kepalaku yang apabila dibiarkan akan membuatku semakin linglung. Pikiranku seringkali kosong dalam keadaan penuh. Tak mampu berpikir meski banyak hal terpikirkan. Itulah yang ku sebut linglung. Dan itu terjadi sedikitnya 3 kali dalam sehari. Kadang lebih dari itu. Terlebih di malam hari.

Kepalaku sedang dipenuhi oleh seorang anak berusia tujuh atau delapan tahun yang sedang mengalami semacam depresi ringan. Tak tahu jelas apa yang membuatnya depresi. Mungkin sebuah atensi dan pengakuan. Seperti seorang pedagang alat tulis di bus antarprovinsi yang menaruh barang dagangannya di pangkuan penumpang. Berharap satu atau dua orang tertarik lantas langsung membayar tanpa perlu mengembalikan pada pedagang lagi. Satu atau dua pembeli sudah cukup membuatnya bangga karena keberadaannya diakui sebagai penjual, bukan hanya sebagai tukang dengung alat tulis. Tentu saja lebih dari dua pembeli akan sangat membuatnya bahagia. Dengan begitu ia bisa mengantongi atensi sekaligus uang untuk dibanggakan di antara para penjual lain. Anak kecil ini pun sama. Satu atau dua perhatian saja sudah cukup baginya. Ia tak butuh uang seperti penjual di bus antarprovinsi itu karena memang dia belum begitu paham tentang uang. Ia hanya tahu bahwa uang dapat membuatnya mendapat atensi. Ia mempelajari bagaimana uang bekerja demi atensinya. Dengan begitu, keberadaannya diakui, bukan hanya diciptakan.

Ia terlihat sedang duduk menunduk di sofa abu. Di sofa yang sama, duduk seorang perempuan yang ku perkirakan berusia awal tiga puluhan sedang memarahi anak kecil itu sambil melontarkan makian. “Mau jadi apa kamu? Tidak cukupkah uang yang Ibu beri padamu sampai kamu harus mencuri uang milik temanmu?”. Anak kecil itu masih tetap menunduk. Meski begitu, aku masih dapat memastikan tak ada penyesalan di wajahnya. Mukanya tenang dan terkesan menunjukkan kepuasan. Ibunya melanjutkan, “Kalau masih saja mencuri, ikut saja dengan ayahmu. Biar habis kamu dipukuli!”. Anak kecil itu bangkit tanpa berkata apapun. Entah sinyal apa dan dari mana, telingaku menangkap anak kecil itu berbisik apa bedanya? Dipukuli atau tidak toh sama saja.

Aku tak yakin apakah anak seperti itu sungguh ada. Yang ku tahu, anak kecil tak punya pikiran sekompleks itu. Anak kecil di sekitar rumahku tak serumit itu. Mereka bermain dan tertawa bersama tanpa memikirkan kemungkinan atensi yang akan didapat dari bermain dan tertawa. Bermain membuatnya bahagia dan tertawa merupakan cara mereka menyikapi kebahagiaan. Sesederhana itu. Tanpa berpikir kemungkinan-kemungkinan ataupun atensi dan pengakuan.

Simfoni deru kendaraan yang tenang mengalun kembali. Menampilkan anak kecil yang sama sedang mengamuk. Mungkin penggunaan kata mengamuk terlalu berlebihan untuk dilakukan anak kecil berusia tujuh atau delapan tahun. Tapi cukup layak untuk mengistilahkan anak kecil yang sedang menggoyang-goyangkan pagar sambil berteriak tak jelas. Pakaiannya sangat pantas. Ia mengenakan baju tidur setelan bergambar tokoh kartun. Kenyataan itu membuatku yakin bahwa anak ini cukup terurus. Tak lama, anak itu masuk ke rumah yang terlihat cukup modern. Ia mengambil gawai dan duduk dengan tenang. Agaknya, gawai itu mampu membuatnya terlihat normal. Melihat perilakunya di awal, jika saja ia mengenakan pakaian lusuh, aku pasti sudah menduga ia anak kecil yang gila.

Aku penasaran. Apa yang membuat anak itu berteriak dengan cukup hebat? Mungkinkah demi atensi yang sama? Aku belum bisa memastikan. Sambil menunggu anak kecil itu muncul lagi, ku minum air putih dalam gelas bening di sebelah laptopku. Gelas ini ku beli sengaja untuk menemaniku menuntaskan isi kepalaku. Ku pilih yang bening tanpa corak apapun, bukan warna coklat atau abu seperti gelasku yang lain. Ku harap gelas bening tanpa corak apapun mampu membantu menjernihkan kepalaku. Antara isi kepala dan jenis gelas memang tak ada hubungannya. Tapi nyatanya memberi efek yang cukup menenangkan.

Aku masih menunggu anak kecil itu kembali mengisi kepalaku. Lima kali deru kendaraan terdengar. Lima kali pula aku ke dapur untuk mengisi gelas beningku. Masih tak ada apapun mengisi kepalaku. Mungkinkah anak kecil itu tertidur? Ku putuskan untuk mematikan laptopku dan naik ke tempat tidurku. Mungkin justru kepalaku yang sudah mulai lelah. Ku harap anak kecil itu bersedia hadir lagi besok malam.